Saat produk telah selesai dibuat, langkah berikutnya tentu memikirkan bagaimana menggaet para pengguna untuk mau memakai produk kita. Namun, dari mana kita harus memulainya? Siapa saja yang mesti kita sasar? Strategi apa yang harus dilakukan untuk bisa menyampaikan pesan terhadap calon pengguna?
Cari saran dari pengguna
(kiri ke kanan) Pradipta Nugrahanto (Editor in Chief Tech in Asia), Welly Huang (CTO Paprika), Kevin Cahya (East Venture)
Menurut Kevin, pendekatan untuk akuisisi pengguna awal berbeda-beda. Hal ini disesuaikan dengan jenis industri yang digeluti oleh startup tersebut. Kevin lantas menyarankan agar strategi akuisisi pengguna dimulai dari identifikasi siapa yang memiliki masalah dari solusi yang kita buat. Fokuskan target pemasaran produk kepada kelompok tersebut.
Kevin lantas mencontohkan kasus Uber di Amerika Serikat. Menurutnya, Uber berhasil jadi solusi untuk masalah besar di sana, yakni tingginya permintaan taksi. Tingginya permintaan tersebut ternyata berbanding terbalik dengan ketersediaan armada pendukung serta sulitnya mendapat lisensi. Di sana, biaya mendapat lisensi taksi rupanya lumayan mahal dan memakan banyak waktu.
“Uber menargetkan orang-orang yang mengalami masalah ini,” tuturnya. Selanjutnya, Uber pun mengincar kota-kota dengan permintaan taksi yang melebihi ketersediaan kendaraannya.
Sementara bagi Paprika sendiri, strategi awal menggaet pengguna dilakukan dari lingkaran terkecil terlebih dulu. Menurut Welly, mereka mengetes produk awal kepada kawan-kawan dan keluarga untuk mendapatkan saran mengenai produk mereka.
Ketika pengguna merasa produk tersebut masih memerlukan perbaikan dan penambahan fitur, maka Paprika pun akan memperbaikinya. “Kalau produk yang diluncurkan sudah cukup bagus, orang-orang akan mulai memasarkannya dari mulut ke mulut.”
Keduanya pun sepakat agar startup mengenal penggunanya dengan dekat. Founder perlu tahu alasan mengapa pengguna memilih produknya ketimbang produk lain, serta produk apa yang ia gunakan sebelumnya. Untuk kasus business-to-business (B2B), founder juga perlu tahu siapa yang sesungguhnya menggunakan produknya.
“Sebenarnya yang pakai produknya kasir, pemilik restoran, atau siapa? Kalau kamu bisa tahu detailnya, kamu bisa fokus memasarkan produk ke pengguna di restoran serupa. Perhatikan juga demografis pengguna,” jelas Kevin. Ia menambahkan agar startup tak perlu buru-buru memasang iklan di media begitu mendapat satu pengguna. Menurutnya, jurus itu hanya membuang uang.
Setelah memperkenalkan produk ke pasaran, strategi selanjutnya adalah mempromosikan produk selama satu bulan, misalnya dengan memberikan hadiah smartphone bagi pengguna yang mengunduh aplikasi dan menyebarkan ulang promosi startup.
Pengalaman positif
Setelah mendapat pengguna awal, maka yang perlu dilakukan selanjutnya adalah menjaga pengalaman penggunaan mereka terhadap produk. “Tapi ini cukup bahaya bila kepuasan pelanggan tidak terpenuhi saat itu juga. Ini akan jadi negative snow ball. Berita buruk akan mudah tersebar dari mulut ke mulut,” kata Kevin.
Masih dengan contoh Uber, menurutnya, sejak awal Uber meluncur di pasaran, ia menjaga pengalaman pengguna dengan memberikan layanan Uber Black, bukan UberX. Uber Black adalah layanan Uber dengan pengemudi yang berasal dari layanan penyewaan mobil yang bekerja sama dengan Uber. Sebaliknya, pengemudi untuk UberX bisa berasal dari khalayak umum.
“Mereka khusus menyewa sopir untuk layanan ini. Bukan pengemudi umum yang boleh menyetir. Begitu penumpang naik, ia langsung mendapat perasaan positif. Kesempatan untuk meraih kepuasan pelanggan pun kian besar,” lanjut Kevin.
Efek viral
Salah satu gimmick dalam dunia pemasaran adalah soal efek viral. Namun perlukah suatu layanan menjadi viral agar bisa mendapat banyak pengguna? “Tergantung industrinya. Kalau business-to-consumer (B2C), perlu jadi viral,” ujarnya.
Sebab pada bisnis B2C, kamu bisa mendulang keuntungan dari kuantitas. “Tarik untung sedikit tapi yang beli banyak banget, seperti Amazon,” katanya. Kevin melanjutkan, “tapi kalau B2B startup teknologi, bisa jadi tidak perlu viral tapi bisa besar, misal Salesforce.”
Salesforce adalah perusahaan layanan software as a service (SaaS) yang dibangun sejak 1990. Menurut Kevin, perusahaan itu kini menjadi salah satu perusahaansoftware besar di dunia. “(Untuk Salesforce) tidak perlu semua orang tahu. Tapi target pengguna harus tahu produknya dan unique value proposition produk kita dari produk pesaing,” lanjut Kevin. Unique value proposition (UVP) adalah pernyataan yang menggambarkan keunggulan produk atau layanan kamu, serta bagaimana produk atau layanan tersebut mampu memenuhi kebutuhan pengguna. UVP juga membedakan kamu dari produk serupa dari pesaing.
Burn rate
Saat melakukan kampanye pemasaran, tentu ada biaya-biaya yang harus dikeluarkan. Seperti apa cara bijak untuk “membakar” uang ini? Menurut Kevin, saat produk diluncurkan, sebaiknya pelaku startup fokus pada pencarian pengguna terlebih dulu. Begitu sudah mendapat masukan dan meningkatkan aplikasi atau layanannya, saat itulah startup baru bisa “bakar” uang.
Ia mengingatkan juga bahwa burn rate ini terbagi dua: untuk pemasaran dan untuk operasional. “Untuk tahap awal, burn rate akan lebih berat di biaya operasional. Jika bisnis sudah tumbuh, burn rate akan lebih berat di pemasaran.”
Mengukur tingkat burn rate tergantung dari target yang ingin dicapai. “Misal, bulan ini kamu mencapai target 1.000 pengguna. Harga customer acquisition cost (CAC) dan berapa tinggi burn rate bisa dilihat dari situ. Customer life time value (CLTV) bisa tujuh hingga delapan kali lebih besar dari CAC),” tuturnya.
Customer life time value (CLTV) adalah istilah dalam dunia pemasaran yang mengacu pada perkiraan dari keuntungan bersih yang didapat dari hubungan yang dibangun dengan pelanggan di masa depan. Sementara customer acquisition cost (CAC) sendiri adalah biaya yang dikeluarkan untuk meyakinkan pengguna membeli produk atau layanan kamu.
Namun Kevin mengingatkan bahwa angka ini pun akan berbeda antara pelaku bisnis B2C dengan B2B. “CLTV di B2C bisa lebih kecil dari B2B. Proses akuisisi di B2B bisa lebih lama, biayanya pun lebih besar. Namun CLTV yang diraih bisa lebih lama dari B2C.”
Selain itu, Kevin juga menegaskan bahwa saat membangun bisnis, kamu perlu tahu berapa dana operasional yang ada dan berapa lama dana tersebut bisa digunakan. Setelah itu, kamu bisa menentukan key performance indicator (KPI). KPI adalah bisnis metrik yang digunakan untuk mengevaluasi faktor-faktor penting bagi keberhasilan suatu perusahaan atau bisnis.
“Kita harus menentukan besaran biaya yang dikeluarkan untuk 1.000 pengguna harian. Jadi tidak perlu PHK karyawan buru-buru. Kegagalan di bisnis startup itu cepat sekali. Jadi pemilik bisnis tahu sebenarnya produk yang ia tawarkan cocok untuk pasar atau tidak,” ujarnya.
Namun, ada juga startup yang bersikeras mempertahankan produknya meski tak cocok di pasaran. Sebaiknya, menurut mereka, founder mengikuti arah pergerakan pasar agar produk atau layanannya dapat diterima.
Strategi ekspansi
Saat pengguna sudah didapat dan tingkat kepuasan pengguna cukup memuaskan, banyak orang tergoda untuk memperluas pasar. Kevin menyarankan agar layanan atau produk menguasai 70-80 persen pasar lebih dulu sebelum akhirnya mengambil langkah ekspansi.
Kevin lantas mencontohkan Salesforce. “Perusahaan SaaS ini memulai langkahnya dari Harvard, lalu melebarkan sayap ke Amerika Serikat, kemudian ke seluruh dunia,” katanya. Ini dilakukan Salesforce sembari menjaga kualitas produk dan pengalaman pengguna. Sebab pasti akan selalu ada bug dan perbaikan. “Kalau ekspansi terlalu cepat, kamu harus bersiap menghadapi kemungkinan efek negatif yang bergulir cepat. Sebaiknya jangan luncurkan apapun jika kualitas belum baik. Lakukan satu hal perlahan, tapi hasil yang dicapai positif dan kepuasan pelanggan terjaga.”
Tentang strategi East Venture berinvestasi, Kevin menjelaskan bahwa pihaknya memang memilih startup hyperlocal. Namun, kriteria hyperlocal ini bukan layanan yang terlalu lokal sehingga pasarnya sangat kecil. “Startup yang hyperlocal adalah yang memiliki lingkup yang luas, kuat di lokal, tapi bisa merambah ke arena global. Dia mulai mengakuisisi pengguna dari tempat ia didirikan.”
Ia lantas mencontohkan startup yang pernah ditemui di Manado. Startup ini menyediakan layanan ada on demand bentor (becak motor). Menurutnya, meskistartup ini punya pangsa pasar startup hingga 150 persen, pihaknya tak lantas memilih startup tersebut “Kita tidak mengambilnya karena pasar mereka hanya di Manado dan Medan.”
Setelah menyuntikkan dana ke startup, umumnya dapat dilihat apakah startup tersebut bisa mengganggu (disrupt) pasar atau tidak. Ini dilihat dari rerata pertumbuhannya. Menurutnya, startup dengan pertumbuhan di atas 50 persen per bulan di kuartal ketiga dan keempat berpotensi mengganggu pasar.
Sebaiknya, startup tumbuh tiga digit dalam per bulan. Umumnya, kata dia, pertumbuhan startup itu cepat di awal, lalu melambat. Jika sejak awal pertumbuhan bisnis begitu lambat, maka akan sulit untuk berkembang lebih jauh.
Kevin juga menekankan bahwa pelaku startup juga mesti membedakan antara membangun startup teknologi dengan mulai membangun bisnis tradisional dari nol. Sebab, menurutnya, tidak semua startup teknologi bisa menjadi unicorn. “Jadi unicorn itu kalau valuasi sudah di atas US$1 juta. Kalau mau jadi unicorn, pasarnya harus sepuluh kali lebih besar dari itu,” pungkas Kevin. [tia/ap]