Angin investasi bertiup berlawanan arah belakangan ini. Jika sebelumnya, investor begitu mudah menyuntikkan dana kepada para startup, belakangan laju investasi ini mulai direm.
Akibatnya, startup pun harus mengubah haluan. Mereka tak lagi mengejar pertumbuhan semata, tapi mulai menyusun strategi untuk mendapatkan keuntungan. “Sebab, investor pasti menginginkan uangnya kembali,” terang Patrick Williamson, Founder & CEO Otobro.
Salah satu alasan mengapa investor memperlambat keran investasinya adalah karena banyaknya kesepakatan dan hal bodoh yang dilakukan saat uang banyak mengalir ke startup.
Sukan Makmuri, CTO Kudo lantas mencontohkan salah satu pendanaan yang dilakukan di Hongkong. Salah satu investor memberikan pendanaan US$80 juta (sekitar Rp1 triliun) kepada sebuah startup. Namun, startup tersebut justru menghabiskan 60 persen dana tersebut untuk pemasaran dan untuk mendapatkan perhatian pengguna.
“Startup kamu mungkin akan diketahui masyarakat, namun apa langkah selanjutnya?” tegas Sukan. “Kamu punya tanggung jawab yang besar atas setiap penggunaan uang investor ini. Dana ini harus dikendalikan dengan ketat,” lanjutnya.
Berubahnya iklim investasi ini pun membuat startup harus menyesuaikan diri. Mengejar pertumbuhan pengguna tak bisa lagi menjadi andalan. Tapi startup pun harus mulai memikirkan bagaimana mencari keuntungan. Bagaimana caranya? Berikut beberapa tipnya.
Bangun loyalitas
Menurut Sukan, salah satu cara untuk mendapatkan keuntungan adalah dengan membangun loyalitas pengguna. Namun, loyalitas tak bisa dibentuk dengan membanjiri mereka dengan uang. Menurut Sukan, loyalitas bisa dibuat dengan menyesuaikan layanan dengan kultur setempat. “Kultur Indonesia kita suka dilayani.”
Untuk itu ia mencontohkan apa yang dilakukan Kudo. Perusahaannya mengawinkan budaya pelayanan dengan budaya sosial Indonesia yang kental. Cara ini digunakan untuk menggaet pasar pembelanja online di luar kota besar. “Mereka bisa tanya dan belanja online, tanpa harus beli sendiri ke internet. Cukup ke warung-warung terdekat,” tuturnya.
Hentikan subsidi
Sementara itu, Tesong Kim, CEO VIP Plaza menyebutkan penghentian subsidi untuk startup juga perlu dilakukan demi membentuk ekosistem startup yang sehat. Dana subsidi ini kerap digunakan untuk pemasaran. Bagaimanapun, Kim melanjutkan, subsidi tidak akan menjamin kesinambungan bisnis dan cenderung merusak ekosistem.
Menurut Kim, menghentikan tren pemberian subsidi lebih mudah dilakukan jika ada pemimpin pasar yang mulai melakukannya. Pemimpin pasar yang dimaksud setidaknya menguasai empat puluh hingga lima puluh persen pangsa pasar.
Menambah nilai
Bermodalkan ide yang bagus tidaklah cukup untuk membangun bisnis yang berkesinambungan. Menurut Sukan, membangun perusahaan teknologi haruslah berangkat dari kepedulian perusahaan terhadap ekosistem.
Kelola pendanaan
Pertanyaan yang sering muncul adalah berapa banyak uang yang kita punya dan berapa lama kita bisa bertahan dengan uang yang ada. Menurut Sukan, sebaiknya startup tidak menggalang dana lebih dari yang dibutuhkan. Startup lebih baik fokus mengekspansi pasar.
Kim menambahkan, bahwa dana yang digunakan harus disesuaikan dengan ukuran pasar yang diincar. Ia mencontohkan, pasar e-commerce Indonesia yang akan bernilai US$20 miliar (sekitar Rp268 triliun) dalam lima tahun mendatang—sebagian besar merupakan pasar B2C. Ia menghitung, tiga puluh persen pasar ini dikuasai oleh produk fesyen.
Pasar inilah yang diincar VIP Plaza dengan nilai US$600 juta (sekitar Rp8 triliun). Harapannya, VIP Plaza akan meraup pasar hingga lima puluh persen. Jika persentase itu diraih, maka pendapatan VIP Plaza diperkirakan bakal mencapai US$300 juta (sekitar Rp4 triliun).
Sumber : Techinasia ID