Selama beberapa tahun terakhir, kita telah melihat kemunculan cukup banyak startupbesar di tanah air. Mulai dari yang bergerak di bisnis e-commerce seperti Tokopedia dan Bukalapak, situs travel online seperti Traveloka dan Tiket, hingga layanan transportasi online GO-JEK. Hal itu pun memicu banyak orang di Indonesia, terutama yang masih berusia muda, untuk ikut membuat startup baru.
Mereka memutuskan untuk mendirikan startup dengan berbagai alasan, mulai dari ingin mendapatkan pendanaan besar, ingin nama mereka terkenal dan diliput oleh berbagai media, hingga hanya demi mempunyai jabatan sebagai CEO di kartu nama mereka. Padahal, alasan tersebut tidaklah tepat, dan hampir bisa dipastikan kalau mereka akan gagal bila memulai startup dengan alasan seperti itu.
Lalu, alasan seperti apa yang tepat ketika membangun sebuah startup?
Ingin membangun bisnis, bukan ingin menghabiskan pendanaan
Beberapa orang mungkin tertarik masuk ke dunia startup karena mendengar berita pendanaan yang terus menerus mengalir ke berbagai startup. Mereka pun merasa bisa membuat produk dan mendapatkan pendanaan seperti itu.
Tapi faktanya, meraih pendanaan bukanlah sesuatu yang mudah. Dalam beberapa kasus tertentu, memang ada beberapa startup yang berhasil mendapat pendanaan meski baru berbentuk ide. Tapi normalnya, kamu harus terlebih dahulu membuat produk yang baik dan mendapatkan banyak pengguna, sebelum bisa menarik para investor untuk menanamkan uang mereka.
Kamu pun harus memahami kalau bisnis startup tak ubahnya seperti bisnis lain yang harus mengincar keuntungan. Oleh karena itu, setelah mendapatkan pendanaan pun kamu harus bisa membelanjakannya dengan baik, sambil berusaha untuk mendapat pemasukan. Jangan sampai kamu kehilangan kontrol atas cash flow perusahaan, mengeluarkan jauh lebih banyak uang dibanding pemasukan, yang berakibat pada bangkrutnya startup yang kamu dirikan.
Ingin bekerja keras, bukan bekerja santai
Pola kerja di perusahaan besar yang monoton, di mana kamu harus datang tepat waktu dan mematuhi berbagai aturan kantor yang mengekang, mungkin membuat kamu kemudian melirik dunia startup. Beberapa orang memang berpikir kalau menjadi founder dari sebuah startup membuat mereka bisa bekerja dengan santai di mana pun dan kapan pun.
Namun faktanya, mendirikan startup justru merupakan pekerjaan yang jauh lebih berat dari sekedar menjadi karyawan sebuah perusahaan. Jika menjadi founder, kamu mungkin tidak perlu hadir di kantor pada pukul sembilan pagi, namun bisa saja kamu sudah harus mulai bekerja sejak pukul empat pagi. Beberapa founder bahkan sampai harus bekerja lebih dari 24 jam pada saat-saat tertentu.
Setiap orang yang mendirikan startup, pasti mengatakan kalau mereka tidak pernah membayangkan kalau proses yang mereka lalui akan begitu berat dan begitu menyiksa seperti ini.
Ingin memecahkan masalah, bukan memaksakan solusi
Hal ini memang sulit dibedakan. Beberapa orang mengatakan kalau mereka ingin menghadirkan solusi untuk sebuah permasalahan, meski faktanya mereka hanya ingin memaksakan asumsi pribadi mereka.
Lalu bagaimana cara membedakan kedua hal tersebut? Kamu bisa langsung melihatnya dari pertumbuhan jumlah pengguna dari startup yang kamu dirikan. Apabila tidak ada penambahan signifikan dari jumlah pengguna dalam jangka waktu yang lama, maka kamu harus mempertanyakan kembali apakah memang solusi yang kamu hadirkan memang jawaban yang tepat dari permasalahan yang ada.
Untuk menghindari hal tersebut, kamu harus melakukan riset pasar (market research) yang benar sebelum kamu mulai membuat produk.
Jika kamu bisa melakukan satu hal ini, yaitu belajar untuk mengerti apa yang sebenarnya diinginkan oleh masyarakat, maka kamu punya keuntungan besar dibanding orang lain yang juga tengah mendirikan startup.
Ingin memberikan dampak yang baik, bukan ingin mendapatkan uang
Setiap orang pasti ingin mendapatkan uang. Namun apabila hal tersebut merupakan satu-satunya alasan mengapa kamu mendirikan startup, maka sebaiknya kamu memikirkan kembali keputusan tersebut.
Faktanya, karyawan di startup besar mempunyai peluang yang lebih baik untuk mendapatkan banyak uang, dibanding seorang founder yang tengah mendirikan startup baru.
Contohnya, karyawan ke seratus dari sebuah startup unicorn yang berhasil masuk bursa saham dengan valuasi US$5 miliar (sekitar Rp66 triliun) berpotensi mendapatkan uang sebesar Rp66 miliar. Untuk mendapatkan uang sebanyak itu, seorang founder (biasanya mempunyai saham sekitar sepuluh persen) harus membuat startup dengan valuasi Rp660 miliar, yang tentu tidak akan mudah.
Karena itu, Co-Founder Facebook Dustin Moskovitz mengatakan kalau alasan terbaik untuk mendirikan startup bukanlah untuk mencari uang. “Kamu hanya perlu mendirikan startup apabila kamu terdorong untuk menyelesaikan sebuah masalah, dan menganggap kalau membuat perusahaan baru adalah satu-satunya cara untuk menyelesaikannya,” jelas Moskovitz.
Ia mencontohkan dirinya yang kemudian mendirikan startup baru bernama Asana, dengan alasan tersebut. Ia merasa masalah yang ingin ia selesaikan telah berlangsung sangat lama, dan anehnya tidak ada satu perusahaan pun yang berusaha menyelesaikannya.
Dengan begitu, kamu seperti mempunyai misi pribadi ketika mendirikan startup. Misi tersebut akan membantu kamu untuk tetap fokus bekerja di startup yang kamu dirikan, meski di masa-masa sulit. Selain itu, misi tersebut juga akan membantu kamu ketika merekrut pegawai baru.
Ingin melayani orang lain, bukan ingin menjadi bos
Hal lain yang mungkin menjadi alasan seseorang untuk mendirikan startup adalah karena mereka ingin menjadi pimpinan dari sebuah bisnis. Dengan begitu, mereka bebas melakukan apapun yang mereka mau, tanpa ada pimpinan yang akan memarahi mereka.
Namun faktanya, dengan kamu menjadi pimpinan sebuah startup, maka tanggung jawab kamu pun akan semakin besar. Memang tidak akan ada yang mengatur kamu, namun tidak ada juga yang akan mengingatkan kamu ketika kamu melakukan kesalahan.
Bahkan, kamu pun bisa menjadi semacam “bawahan” di hadapan pihak-pihak lain, mulai dari pegawai, pengguna, perusahaan lain yang menjadi mitra, media, hingga investor. Mengapa? Karena kamu punya tanggung jawab untuk memuaskan mereka semua. Hal ini dijelaskan oleh Phil Libin, mantan CEO Evernote.
Kehidupan sebagian besar CEO hanya diisi dengan melapor kepada orang lain. Setidaknya itu yang saya rasakan, dan saya ketahui dari mayoritas CEO yang saya kenal. Saya tidak pernah memiliki lebih banyak bos seperti sekarang. Itulah mengapa jika kamu ingin mempunyai kekuasaan dan otoritas di hadapan banyak orang, lebih baik kamu bergabung dengan militer atau terjun ke politik. Jangan menjadi entrepreneur.
[tia/ap]