Internet merupakan tempat yang unik. Di internet, kamu bisa saja menjadi terkenal meskipun bukan selebritas, orang kaya, atau cukup sukses. Tapi hampir semua orang atau perusahaan yang sukses, terkenal di internet terutama di media sosial.
Lain halnya dengan Alegrium, studio game asal Jakarta ini bisa dibilang tidak terlalu aktif muncul di media sosial ataupun komunitas, tapi kesuksesan yang telah diraih jelas tidak bisa dianggap remeh. Sebut saja game garapan mereka yang populer secara global seperti Icon Pop Quiz dan Billionaire. Lalu sebenarnya siapa developer di balik fenomena game mobile tersebut? Dan mengapa mereka memilih jalur yang sangat di bawah radar? Simak kisah tentang Alegrium di bawah ini.
Tidak lahir dari game
Alegrium berdiri sekitar akhir tahun 2010. Perusahaan ini didirikan oleh Stefan Damasena bersama beberapa kawan lainnya. Dengan latar belakang agensi digital, studio ini dimulai dengan enam orang dan empat di antaranya adalah pendiri.
“Mungkin waktu itu kami sudah bosan ya mengerjakan servis, hahaha, dan dari dulu memang beraspirasi ingin punya produk yang bisa dinikmati secara global. Dari situ kami memutuskan untuk move on dari agensi dan mendirikan Alegrium,” ujar Stefan menjelaskan awal berdirinya Alegrium.
“Kami sendiri percaya kalau video game adalah sesuatu yang universal, interaksi yang disajikan itu sering kali tidak terlalu terkendala dengan bahasa dan lebih fokus ke pengalaman. Itu juga salah satu alasan kami memilih game sebagai kendaraan untuk menuju ke pasar global,” tambah Stefan.
Keputusan Alegrium untuk terjun ke game juga bisa dibilang cukup nekat, karena empat orang pendiri tidak ada yang memiliki latar belakang pengembangan game, meskipun dua pendiri memiliki latar pendidikan IT dan Stefan sendiri mengenyam pendidikan desain.
Hal ini semakin diperparah dengan fakta bahwa industri game di Indonesia dulu belum seramai sekarang. Mencari koneksi untuk bisnis dan belajar tidaklah mudah.
“Bisa dibilang dulu kami cukup naif. Di agensi mendapatkan puluhan ribu pengguna menggunakan iklan bisa dicapai dengan mudah, tapi begitu masuk ke industri game, ternyata membuat sesuatu yang bagus dan kreatif saja tidak cukup. Awal berdiri kami jadi belajar banyak cara menyajikan pengalaman yang spesial, cara baca data dan analitik, yah intinya kembali dari nol.”
Padahal pengalaman Stefan dan kawan-kawan sebagai agensi pun tidak kecil. Mereka telah mendirikan agensi yang kini dikenal dengan nama Mirum sejak 2005. Setelah meninggalkan Mirum, para pendiri keluar dan membangun Alegrium dari tabungan pribadi.
Untuk mengerjakan game pertama, Stefan dan kawan-kawan merekrut satu orang programmer penuh waktu dan satu artis paruh waktu. Dalam waktu enam tahun sejak berdiri, Alegrium berkembang dari enam orang menjadi lebih dari empat puluh orang.
Keputusan ini salah satunya diambil untuk menyokong rencana berkembang Alegrium agar bisa mengerjakan berbagai proyek secara paralel. Oleh karena itu tidak heran jika mayoritas anggota tim Alegrium fokus untuk produksi game. “Dulu kami hanya mengerjakan satu game sampai rilis, baru lanjut mengerjakan game baru,” jelas Stefan.
Menurut Stefan, cara kerja seperti ini jauh dari efektif. “Usia” dari game yang dibuat sudah keburu habis begitu mereka merilis game berikutnya. Dengan mengerjakan proyek secara paralel, diharapkan sebelum lifetime value dari game yang dirilis habis, Alegrium sudah memiliki produk lain yang bisa dirilis untuk publik. Saat ini sendiri mereka tengah mengerjakan tiga proyek game sekaligus secara paralel, dengan game terbaru yang mereka rilis adalah Almighty untuk iOS.
Ketika apel lebih berharga daripada robot
Berbeda dengan banyak studio game ponsel di Indonesia yang fokus ke robot hijau alias Android, Alegrium justru berfokus mengembangkan game untuk platform apel perak yang terkenal lebih eksklusif. Padahal, dilihat dari Google Play Store, game buatan Alegrium di Android memiliki jumlah unduhan yang sangat tinggi, dengan Icon Pop Quiz yang menembus lima juta unduhan dan Billionaire yang menembus satu juta unduhan.
“Dari awal kami memang sudah masuk ke iOS, dan orang juga daya belinya lebih tinggi di iOS. Ditambah lagi, dulu kami cukup terlambat untuk masuk ke Android, dan bahasa pemrograman yang kami gunakan dulu, Cocos, tidak semudah Unity untuk merilis game di banyak platform sekaligus.
“Hal tersebut menjadi limitasi kami, meskipun saat itu Icon Pop Quiz memang sudah cukup booming di iOS. Itu juga yang menjadi alasan kenapa kami memutuskan untuk ekspansi besar-besaran tahun lalu. Dulu begitu kami mau terjun ke Android, SDM kami sudah keburu habis untuk mengembangkan versi Android.”
Begitu kedua platform kebagian game Alegrium, lifetime value yang dimiliki game telah mendekati habis. Hal ini terjadi baik di Icon Pop Quiz maupun Billionaire. Walaupun bisa dibilang kedua game merasakan kesuksesan besar.
Ketika ditanya soal apakah dari platform Apple saja Alegrium bisa bertahan? Stefan hanya mengeluarkan senyuman penuh arti. “Untuk bilang kalau satu produk bisa menghasilkan profit, kami bisa bilang ya. Tapi sebagai perusahaan, Alegrium harus bisa sustain,” dan peran platform sepopuler Android untuk membantu mereka bertahan jelas tidak bisa diabaikan begitu saja.
Viralitas dan fokus internal
Tidak bisa dipungkiri kalau Icon Pop Quiz adalah game yang membawa Alegrium pada kesuksesan yang mereka miliki sekarang. Tapi apa yang menjadi rahasia kesuksesan game tersebut?
“Itu benar-benar produk yang viral sih. Mungkin kalau dirilis baru-baru ini kami bisa tahu penyebabnya, tapi saat itu resource betul-betul terbatas dan kami baru belajar soal analitik dan sejenisnya. Jadi kami menyimpulkannya itu memang viral, walaupun bisa jadi fitur Ask a Friend yang menyambungkan game tersebut dengan media sosial menjadi salah satu kunci viralitasnya.”
Meskipun dibilang viral, tidak bisa dipungkiri kualitas produk yang sangat baik jugalah yang mendorong Icon Pop Quiz serta beberapa game Alegrium menjadi sukses. Kesuksesan ini juga menjadi anomali tersendiri karena Alegrium bukanlah studio yang populer di kalangan media ataupun komunitas. Sesuatu yang ternyata juga membuat mereka cukup kesusahan untuk menemukan SDM berkualitas baru.
Stefan mengaku bahwa banyak waktu Alegrium terpakai untuk fokus mengembangkan internal. “Sampai sekarang pun kami masih belajar, malah saat ini semakin getol-getolnya belajar membaca analitik. Karena kalau bukan kami sendiri yang belajar, siapa yang mulai. Bahkan kami mencari SDM untuk posisi Head of Analytic saja susah sekali, adanya di perusahaan-perusahaan seperti GO-JEK dan sejenisnya,” jelas Stefan.
Saat ini juga Alegrium belum memiliki tim PR untuk menghubungkan mereka dengan media atau publik lainnya. Stefan menjelaskan bahwa hal tersebut sudah masuk rencana Alegrium, karena mereka memang berencana untuk menangani segala urusan PR secara internal. Tapi sumber daya yang ada sekarang memang memaksa Alegrium untuk menaruh urusan PR di prioritas belakang, dan menyerahkan urusan penyebaran game murni pada tim pemasaran dulu.
Targetkan dominasi dunia
Salah satu hal paling menarik dari Alegrium adalah bagaimana game mereka bisa begitu populer di luar negeri, terutama daerah seperti Amerika Utara, Eropa, atau Australia. Menyikapi hal ini, Stefan mengakui kalau memang negara-negara maju tersebutlah yang menjadi pangsa pasar utama mereka.
“Kami tetap berkutat ke negara tier 1 seperti Amerika Serikat, Inggris, Australia, Kanada, dan sekitarnya. Ingin sih merangkul negara seperti Cina, Jepang, atau Korea Selatan, tapi itu prioritas kedua.”
Untuk Indonesia sendiri, menurut Stefan tenaga yang dikeluarkan untuk bisa menggapai pasar lokal dan global sebenarnya sama. “Misalnya kami bikin game yang temanya terlalu spesifik ke lokal, begitu ingin menggapai pasar luar akan lebih susah.
“Memang ada beberapa game yang hit di lokal, tapi lebih banyak lagi game luar yang juga dimainkan pemain lokal. Jadi kalau kami bisa sukses di negara tier 1, ke negara lainnya lebih gampang. Pada akhirnya semua tergantung pada hasil produknya,” ujar Stefan.
Pilihan yang diambil Alegrium bisa dibilang cukup masuk akal, mengingat berbagai game yang telah mereka kerjakan sukses di pasaran. Cukup sukses sampai-sampai studio yang telah berusia lebih dari enam tahun ini bisa tumbuh menjadi besar tanpa pendanaan investor sama sekali. Semuanya murni dari hasil tabungan awal yang kemudian menjadi profit dari game yang telah dirilis.
Keuntungan yang didapatkan Alegrium kebanyakan datang dari iklan. Dibandingkan dengan In-App Purchase dalam game, pemasukan Alegrium berbanding 60-40. Melihat kesuksesan tersebut, tidak heran jika sampai saat ini Alegrium belum berniat untuk membuat game premium dan juga masih betah bertahan mengembangkan game untuk platform mobile.
Sebagai penutup, trentechIndonesia bertanya kepada Stefan tentang apa yang bisa dilakukan developer game Indonesia untuk bisa maju ke depan lebih jauh lagi.
“Business sense,” ujar Stefan dengan yakin.
“Selain itu juga mindset. Kemarin saya juga berjumpa dengan vendor ads global, dan ia mengatakan kalau Indonesia ini tidak kalah SDM yang dimiliki dengan Malaysia, Singapura, atau Thailand. Tapi mindset developer sini itu ingin bikin buat Indonesia.
“Sebenarnya tidak apa-apa, tapi ini kan sesuatu yang universal, kenapa tidak dengan kemampuan yang kita punya buatlah sesuatu untuk global,” tutup Stefan ketika menjelaskan soal keputusan menargetkan pasar dan potensi bisnisnya yang lebih besar.
Melihat perkembangan yang terjadi di Alegrium selama beberapa tahun terakhir, serta ekspansi yang masih terus berjalan dari tahun lalu, akan sangat menarik melihat sepak terjang studio yang selalu bekerja di bawah radar ini. [tia/ap]