Kali ini trentech.id akan me-review sebuah game bernama The Silver Case yang akan mengungkap tabir penuh keganjilan. Yuk simak ulasannya berikut ini.
Suda51 (Goichi Suda) adalah seorang developer dan pengarah game yang memiliki pengikutnya sendiri di jagat dunia video game berkat ide-ide aneh yang beliau tuangkan dalam setiap game garapannya.
Game yang dibuatnya berani membawa gagasan liar namun dihantarkan dengan puitis dan penuh seni. Contoh saja beberapa game arahannya seperti Killer 7, No More Heroes, atauFlower, Sun, and Rain. Saya sendiri merasa bahwa beliau adalah seorang visioner yang cukup gila.
Hal yang sama bisa kamu jumpai lewat visual novel pertama yang diarahkan oleh Suda51 yaitu The Silver Case. Tetapi jangan berharap bahwa visual novel ini menghadirkan permainan yang memuaskan.
Misteri sang pembunuh berantai
The Silver Case terasa sangat eksperimental, baik dari segi penyampaian cerita maupungameplay yang dihadirkan. Saya rasa baik mereka yang belum pernah atau sudah pernah mencicipi game arahan Suda51 sebelumnya pasti akan menggaruk-garuk kepala sepanjang permainan.
The Silver Case menceritakan tentang kisah misteri kriminal yang cukup kelam. Kamu akan berperan sebagai detektif bisu yang tergabung dalam sebuah tim rahasia pemberantas kriminal. Bersama kawan-kawanmu, kamu akan mengejar seorang pembunuh berantai bernama Kamui Uehara.
Malangnya, insiden terjadi dan hampir semua timmu tewas di tangan Kamui, kecuali dirimu sendiri. Sebagai satu-satunya korban yang selamat, kamu akhirnya direkrut oleh Heinous Crime Unit, sebuah badan penjaga keamanan kota yang sudah memburu Kamui sejak lama.
Linear
Sebagai sebuah visual novel, The Silver Case menghadirkan kisah yang beragam namun masih satu tema. Cerita yang dibawakan membawa tema seperti kriminal, psikologi, misteri pembunuhan ala novel detektif, konspirasi politik yang penuh rahasia, hingga kehidupan era internet di awal abad ke-21 yang labil.
Sayangnya, cerita dalam game ini sangat linear dan juga terhitung singkat dibandingkan visual novel pada umumnya. Tidak ada percabangan cerita membuat permainan sama sekali tidak memiliki nilai untuk dimainkan ulang.
Para karakter yang dihadirkan tampil dengan kepribadian yang sangat berwarna-warni. Kamu tidak akan dibuat tertarik dengan tema atau konsep dari cerita yang ada, tapi lebih kepada ucapan yang dilontarkan setiap karakter di berbagai kesempatan.
Saya pribadi sebenarnya cukup tergugah dengan cerita dalam game berkat kualitas penulisannya yang baik, namun akhir cerita yang dijumpai terasa kurang memuaskan. Saya hanya bisa tertawa kering di bagian akhir cerita.
Jauh dari kata tradisional
Meski disebut visual novel, The Silver Case tidak memiliki eksposisi sama sekali di setiap adegannya. Setiap kali para karakter berbicara, hanya ada dialog dari masing-masing karakter yang keluar di kotak teks.
Layout teks yang tidak konvensional tersebut juga sering membingungkan untuk mengetahui karakter mana yang tengah berbicara. Jangan juga berharap segala sesuatu dijelaskan oleh karaktermu karena kamu adalah orang bisu dalam game ini.
Alat pembantu yang bisa menjelaskan apa yang terjadi di setiap adegan adalah sejumlah panel gambar yang muncul di layar. Gambar tersebut menampilkan wajah karakter, ruangan, hingga berbagai kejadian yang digambarkan dengan model 3D yang sangat jadul.
Tidak cuma itu saja, ada pula beberapa cutscene berupa FMV (ya, full motion video sepertigame tahun 90-an!) dalam bentuk animasi 3D, anime, bahkan cuplikan video live-action.
Eksentrik
Dengan menggunakan beragam media tadi, The Silver Case terasa layaknya sebuah gameeksperimental yang berusaha memberikan pengalaman yang sangat berbeda dari visual novel pada umumnya. Pengalaman ini tidak hanya terjadi di satu atau dua bab dalam gamesaja, tapi hampir di setiap bab cerita.
Jalur cerita dalam The Silver Case pada dasarnya dibagi menjadi dua skenario yang linear. Skenario “Transmitter” menghadirkan cerita dari sisi yang sedang karaktermu alami, sementara “Placebo” menghadirkan cerita dari sisi karakter bernama Tokio Morishima yang juga ikut terlibat dalam misteri Kamui.
Skenario “Transmitter” adalah primadona dalam The Silver Case. Cerita yang dihadirkan setiap bab terasa unik dan disampaikan dengan sajian visual yang berbeda-beda juga.
Sebagai contoh, pada bab “parade” tampilan visual akan berubah menjadi hitam putih bak film bergaya noir. Sementara bab “kamuidrome” menampilkan visual bernuansa teknologi, karena dalam satu bab itu, kamu akan membaca sederetan dialog dalam sebuah chatroom di internet.
Di sisi lain, skenario “Placebo” adalah semacam bab suplemen untuk membuat cerita yang dihadirkan dalam “Transmitter” terasa lebih jelas. Tetapi karena gaya penyampaian cerita dalam skenario ini jauh lebih sederhana, seringkali ceritanya malah terasa sangat monoton.
Masalah budaya
Cerita yang dihadirkan dalam The Silver Case sebenarnya menarik untuk disimak, tetapi hal tersebut akan dihalangi oleh dialog yang menjadi inti dalam The Silver Case. Percakapan antar karakter memang dibuat sangat realistis seperti pembicaraan sehari-hari, namun hal tersebut juga menjadi hal yang ganjil.
Beberapa ucapan dari karakter terdengar sangat “boros” dalam artian para karakter seringkali mengulang kata “oke”, “baik”, “mengerti”, dan mengonfirmasikan apa yang sudah mereka ucapkan sebelumnya.
Saya rasa hal ini bisa jadi disebabkan oleh proses penerjemahan. Banyak sekali gaya percakapan orang Jepang dalam game ini dan ketika dipaksakan menjadi bahasa Inggris, dialog yang terjadi malah terlihat asing. Namun kalau kamu tidak menghiraukan hal tersebut, rasanya cerita masih tetap bisa kamu nikmati.
Minim gameplay
The Silver Case hampir tidak memiliki gameplay sama sekali di dalamnya. Selain menikmati cerita yang bergulir lewat dialog antar karakter, kamu juga akan disuguhi bagian eksplorasi dengan sudut pandang orang pertama.
Jangan berharap banyak dengan eksplorasi yang dihadirkan, karena gerakan yang bisa kamu lakukan sangat terbatas. Karaktermu hanya bisa bergerak dari satu titik ke titik lainnya saja dan pemandangan yang bisa kamu lihat terbatas pada sebuah panel kecil di layar.
Ditambah lagi, game ini memiliki kendali yang sangat aneh. Untuk melakukan sesuatu, kamu harus menekan tombol mirip d-pad yang ada di kanan bawah layar. Kendali tersebut sangat tidak intuitif apalagi jika kamu menggunakan mouse dan keyboard untuk bermain. Berusaha untuk berpindah dari perintah gerak ke perintah interaksi saja rasanya cukup merepotkan.
Di beberapa momen, kamu bisa juga berinteraksi dengan beberapa benda, menyelesaikanpuzzle, atau menjawab pertanyaan trivia. Tapi selain itu, tidak ada banyak hal yang bisa kamu lakukan dalam game ini selain menikmati cerita yang ada.
Minus fitur dasar
Poin lain yang harus jadi sorotan adalah tidak adanya fungsi umum yang biasa kamu temui dalam sebuah visual novel. Tidak adanya riwayat untuk mengecek kembali dialog yang sudah dilontarkan para karakter akan membuatmu kerepotan untuk memahami lebih dalam apa yang baru saja terjadi.
Selain itu, fungsi fast forward yang ditawarkan tidak membuat permainan menjadi lebih cepat di saat yang dibutuhkan. Fast forward bisa dilakukan untuk mempercepat teks dialog dan gerakan saat bereksplorasi.
Tetapi jangan berharap fungsi fast forward bisa digunakan saat transisi pindah lokasi terjadi. Akibat hal tersebut, permainan terasa sangat lambat dan terkadang menyebalkan.
Presentasi penuh gaya
Tampilan visual yang dihadirkan dalam The Silver Case terlihat sangat berbeda untuk ukuran game di zaman sekarang. Saya juga yakin bahwa game ini sudah termasuk berani tampil beda bahkan untuk standar akhir tahun 90-an silam.
Para karakter diilustrasikan dengan gaya yang sangat khas oleh Takashi Miyamoto. Masing-masing karakter digambarkan seakan memiliki segudang rahasia gelap di belakangnya. Mata dengan tatapan kosong serta kulit yang pucat adalah hal yang sering kamu temui dalam The Silver Case.
Penggambaran adegan seringkali terasa sangat ekspresif. Meskipun jarang menampilkan hal yang termasuk eksplisit, gambar-gambar yang ditunjukkan bisa membuat siapapun merinding melihatnya.
Selain itu, ada juga tampilan grafis-grafis yang kelihatan acak di latar belakang permainan. Grafis tersebut sebenarnya sedang memberi tahu tema utama yang dibawa dalam bab yang kamu ikuti, dan jujur, itu membuat layar menjadi terlihat lebih keren.
Untuk urusan musik, soundtrack yang dikarang oleh Masafumi Takada (Danganronpa) dan diaransemen oleh Akira Yamaoka (Silent Hill) menghadirkan nuansa kelam namun glamor. Kamu serasa dibawa kembali ke tahun 90-an dengan banyaknya melodisynthesizer yang bermain di setiap adegan.
Kesimpulan
The Silver Case merupakan sebuah bukti bahwa Suda51 memberikan gaya tersendiri dalamgame garapannya. Meski jelas terasa aneh dan eksperimental, The Silver Case menghadirkan kisah penuh tabir yang cukup seru untuk diungkap.
Bagi yang sudah pernah mencoba game Suda51 sebelumnya, saya rasa kamu wajib mencobagame ini. Namun kalau belum, saya sarankan kamu coba dulu game garapan beliau lainnya yang sedikit lebih bisa dicerna dengan mudah. [tia/ap]
Steam Link: The Silver Case, Rp135.999