Dalam dunia entrepreneurship dan kepemimpinan, ada sebuah pertanyaan yang selalu muncul: apakah kamu langsung bertindak dan meminta maaf saat gagal? Atau kamu akan meminta izin sebelum melakukan suatu hal?
Bagi saya jawabannya memiliki banyak implikasi.
Dalam entrepreneurship, kita dituntut untuk mengeksekusi ide dan mentransformasikan visi menjadi kenyataan. Sebagai seorang wirausaha, saya sendiri cenderung tidak meminta izin kepada orang lain saat saya ingin melakukan sesuatu. Saya hanya ingin merealisasikan ide saya. Eksekusi adalah hal yang terpenting dalam membangun sebuah perusahaan atau melejitkan produk baru.
Sementara kepemimpinan adalah tentang bagaimana memberdayakan orang, membimbing serta mempercayakan mereka untuk melakukan pekerjaannya. Sebagai seorang pemimpin, saya sendiri berharap agar orang-orang di sekeliling saya adalah sosok yang bertanggung jawab.
Dengan kata lain, mereka menentukan langkahnya sendiri. Mereka bebas bertindak, selama masih dalam batasan yang telah saya tetapkan sebagai seorang pemimpin. Jika terjadi kesalahan, mereka selalu dapat meminta maaf.
Masalah yang timbul jika harus meminta persetujuan atau bertanya terlebih dahulu, yaitu:
Menghambat munculnya inisiatif
Saya lebih memilih untuk mempekerjakan orang yang memiliki inisiatif untuk bekerja di perusahaan saya. Saya percaya mereka seratus persen.
Jika mereka yakin bahwa tindakan yang diambil adalah yang terbaik untuk memenuhi tujuan kami, maka lakukan saja!
Tapi, jika hasilnya tak sesuai dengan yang diharapkan (sebagian orang menyebutnya dengan ‘kesalahan’), saya harap mereka dapat memetik pelajaran agar bisa lebih baik ke depannya.
Memperlambat kemajuan
Meminta izin membutuhkan waktu. Ketika saya mendapatkan ide, saya ingin melakukannya sekarang juga. Jika saya harus menunggu persetujuan atasan dan dia membutuhkan dua hari untuk mengambil keputusan, saya akan kehilangan momentum. Jika saya perlu meminta izin dari beberapa orang atau melibatkan beberapa orang di dalamnya, saya juga memperlambat kerja mereka.
Menghalangi pertumbuhan personal
Ketika mereka meminta izin kepada saya untuk merealisasikan suatu ide, maka ide atau inisiatif tersebut akan beralih kepemilikan menjadi kepunyaan saya. Kenapa? Karena saya yang berkuasa. Padahal, yang saya inginkan adalah mereka yang memegang kuasa dan mendapatkan pujian.
Jika kamu memiliki sebuah ide, maka lakukanlah. Belajarlah dari tiap kesalahan dan pujian. Dari situlah kamu akan tumbuh dan berkembang. Semakin kamu berkembang, maka hal lain pun akan turut berkembang.
Tiga kebiasaan orang yang mandiri
Istri saya baru saja berhasil mendapatkan kumpulan buku anak-anak tentang 7 Habits karya Covey. Pertama kali saya membaca buku itu sekitar dua puluh tahun yang lalu. Bacaan tersebut telah membantu saya menjadi pemimpin yang efektif, baik bagi diri sendiri maupun orang lain.
Saya pun mulai menjelaskan kebiasaan-kebiasaan tersebut kepada anak saya— beberapa di antaranya memang cukup sulit untuk dijelaskan kepada anak berumur sembilan tahun!
Tiga kebiasaan pertama membicarakan tentang kemandirian. Bagi saya, kemandirian berarti orang tersebut tidak menggantungkan dirinya pada orang lain. Saya tahu apa yang saya mau dan dapat bertindak tanpa perlu meminta izin.
Dan inilah tiga kebiasaan pertama seseorang yang mandiri:
Jadilah proaktif
Berbicara tentang konsep Circle of Influence dan Circle of Concern, mulailah menjadi sosok yang proaktif dari pusat pengaruh yang kamu miliki kemudian perlahan memperluasnya.
Jangan hanya duduk dan menunggu sebuah masalah datang (Circle of Concern) baru akhirnya bertindak.
Sebagai seorang pengusaha, sifat proaktif adalah kunci. Ketika sebuah ide muncul dan dapat dibuat menjadi sebuah rencana, maka saya harus menindaklanjuti hal tersebut. Jika saya hanya menulis ide tersebut di atas kertas, lalu duduk terdiam sembari menunggu seseorang datang untuk bertindak, maka tidak akan terjadi apa-apa. Proaktif berarti sayalah pengemudinya; saya yang mulai berinisiatif dan bertindak.
Sebagai seorang pemimpin, saya ingin memberdayakan orang lain dan memperluas circle of influence mereka. Saya ingin membuat mereka merasa bahwa merekalah yang memegang kendali.
Semakin banyak pengaruh atau kuasa yang mereka miliki, perusahaan akan semakin bertumbuh. Ketika mereka meminta izin saya, mereka berada di circle of concern; mereka khawatir akan melakukan kesalahan. Saya ingin mereka bertindak.
Catatan: ada konflik yang muncul antara menjadi seorang pengusaha yang berorientasi pada tindakan dan pemimpin yang ingin memberdayakan timnya. Sebagai seorang wiraswasta, saya ingin melakukan sesuatu pada saat itu juga. Kebanyakan dari pengusaha memang percaya mereka dapat melaksanakan sesuatu 5-10 kali lebih cepat.
Namun, mereka harus belajar mendelegasikan wewenang. Daripada melakukan semuanya sendiri, tak ada salahnya saya mempercayakan orang lain untuk melakukan hal tersebut. Jika semuanya bergantung pada pimpinan, perusahaan tidak akan berkembang.
Mulailah dengan membayangkan tujuan akhirmu
Bayangkan apa yang kamu inginkan di masa depan sehingga kamu dapat bekerja dan menyusun rencana untuk mencapai tujuan tersebut. Pahami bagaimana orang membuat keputusan dalam hidupnya. Agar lebih efektif, kamu perlu bertindak sesuai prinsip dan terus mengevaluasi misi:
- Apakah dirimu yang sekarang adalah orang yang kamu inginkan?
- Apa yang harus saya katakan tentang diri saya sendiri?
- Bagaimana kamu ingin diingat oleh orang lain?
Ubah hidupmu dengan menjadi lebih proaktif. Kamu adalah seorang programmer! Bertumbuhlah dan tetap rendah hati.
Memulai sesuatu dengan memikirkan tujuan yang ingin dicapai dapat diterapkan dalam berbagai hal, seperti:
- menjalankan kehidupan sehari-hari
- mencapai tujuan personal
- memperoleh berbagai tujuan dalam pekerjaan.
Membayangkan hasil yang akan kamu raih dapat membantumu selangkah lebih maju. Tetapkan tujuan, rancang program dan strategi, lalu eksekusikan idemu!
Dalam peran saya sebagai seorang pengusaha dan pemimpin, saya wajib memberikan arahan dan menginspirasi pegawai saya. Dengan menjabarkan visi (vision) dan membuat pedoman perilaku (value), kita tahu ke mana kita akan melangkah. Visi dan value ini akan memberi gambaran yang jelas agar anggota tim dapat memutuskan sendiri apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Jadi, mereka tak perlu selalu meminta izin kamu untuk melakukan sesuatu.
Sebagai contoh, saya sempat memberikan dua hari pengenalan kepada rekan kerja baru saya dari Indonesia. Selama lebih dari delapan bulan belakangan, saya mengeksplorasi pasar Indonesia untuk memberikan pelatihan dan pembinaan metode Agile.
Hingga sekrang, saya telah memiliki beberapa anggota tim di India. Rancangan dan struktur formal kami memang lemah. Nah, sebagai seorang pemimpin, saya akhirnya membuat satu halaman rencana strategis untuk memberikan gambaran dan ekspektasi yang jelas. Rencana tersebut membuat visi, misi, nilai, tantangan selama tiga tahun, serta tujuan selama satu tahun ke depan.
Saya menggunakan contoh-contoh untuk menjelaskan bagaimana menerapkan nilai-nilai perusahaan dalam pekerjaan. Kami pun membuat deskripsi pekerjaannya bersama-sama, termasuk akuntabilitas dan key performance indicator (KPI) untuk mengukur performa kerja.
Kami juga mempunyai satu board di Trello untuk memantau hasil. Kami membuat rencana per kuartal serta tantangan yang mungkin terjadi. Di dalam tim, kami menggunakan Scrum untuk mengatur pekerjaan kami.
Menyusun prioritas
Kepemimpinan selalu dimulai dari visi personal dan kemampuan untuk memimpin diri sendiri. Kamu perlu membedakan mana yang penting dan mendesak. Kamu perlu terbiasa membuat urutan prioritas seperti berikut:
- Penting dan mendesak
- Penting, namun tidak mendesak
- Tidak penting, namun mendesak
- Tidak penting dan tidak mendesak
Kebiasaan kedua: kamu adalah seorang programmer.
Kebiasaan ketiga: buat programmu, jadilah seorang pemimpin! Jaga integritas dirimu, yakni apa yang kamu katakan vs apa yang kamu lakukan.
Kebiasaan ini merupakan hal terpenting dalam eksekusi. Ada buku terpisah yang menjelaskan empat kuadran di bawah ini dan bagaimana cara memfokuskan diri untuk melakukan hal dengan dampak terbesar bagi pertumbuhanmu.
Sebagai seorang entrepreneur dan pemimpin, tabel kuadran di atas membantu saya dalam memilih hal mana menjadi prioritas. Orang yang bekerja dengan efektif akan menghabiskan banyak waktu mereka di kuadran dua. Aktivitas-aktivitas seperti rencana jangka panjang, membicarakan nilai, melatih orang, memang tidak mendesak, tetapi sangat penting dalam membantu organisasi melangkah ke depan.
Sayangnya, kebanyakan orang membuang waktunya di kuadran lainnya, terutama kuadran 1 dan 3. Membuka aplikasi di smartphone, email, mengobrol via WhatsApp sebenarnya menjauhkan kita dari hal-hal penting di kuadran dua.
Sebagai seorang pemimpin, saya dapat “menularkan” kebiasaan ini kepada rekan-rekan sekerja. Di perusahaan yang saya pimpin, saya selalu menjelaskan perbedaan mengerjakan pekerjaan operasional (kuadran 1 dan 3) dan pekerjaan yang berorientasi pada pertumbuhan (kuadran 2).
Kita memang membutuhkan hal-hal operasional agar perusahaan terus berjalan. Tapi, kita juga butuh pekerjaan yang berorientasi pada pertumbuhan untuk menyingkirkan tantangan dan kerikil tajam di depan. Jika kita berhasil menyingkirkannya, kita telah membangun fondasi yang kuat sehingga perusahaan dapat terus bergerak maju.
Di perusahaan kami, setiap orang memiliki peran untuk melakukan pekerjaan operasional. Kami menggunakan KPI untuk melihat apakah langkah kami masih sesuai rencana. Berbagai tantangan kami masukkan ke dalam rencana strategis dan dokumen yang berisi prioritas kerja kami. Dalam board Trello, kami selalu menjelaskan apa saja yang kami lakukan selama sepekan untuk menyingkirkan berbagai tantangan tersebut.
Kami juga selalu menginformasikan setiap progress kepada anggota tim lainnya. Yang pasti, kami harus bisa menaklukan tantangan tersebut di akhir kuartal.
Dokumen, rencana yang jelas, dan board, membantu tiap anggota tim untuk tahu apa yang harus dikerjakan sehingga tidak perlu meminta izin atasan lagi dalam melakukan sesuatu.
Kesimpulan
Sebagai manusia, kita tumbuh melalui pembelajaran dan merealisasikan hal-hal yang kita bayangkan. Dalam pandangan saya, kita bisa tumbuh lebih kuat dan lebih cepat dengan menjadi pribadi yang bertanggung jawab dan independen. Untuk mewujudkannya, kita perlu menjadi lebih proaktif dan mulai berinisiatif.
Kita harus tahu ke arah mana kita berjalan, apa visi kita (mulailah sesuatu dengan membayangkan apa tujuan yang akan didapat), serta fokus pada hal yang mendekatkan kita pada tujuan tersebut.
Sebagai seorang entrepreneur dan pemimpin, saya merasa bahwa tiga kebiasaan dari Covey ini membantu kami berkembang, baik secara personal dan sebagai sebuah tim. Seseorang yang mandiri tahu apa yang mereka lakukan dan mengapa mereka melakukannya.
Mereka menetapkan sendiri tindakan yang ingin dilakukan, menyelesaikannya, dan bertanggung jawab atas hasil yang terjadi. Mereka tidak meminta izin atasan sebelum melakukan sesuatu. Jika mereka berhasil, mereka berhak atas pujian. Sebaliknya, jika hasilnya tak memuaskan, mereka akan meminta maaf dan bertanggung jawab atas hasil tersebut. [tia/ap]