Tahukah kamu? Jam kerja yang lazim digunakan perusahaan, yaitu delapan jam per hari, sebetulnya ditetapkan bukan berdasarkan waktu optimal manusia mampu berkonsentrasi. Bahkan penetapan jam kerja ini sebetulnya tidak berhubungan dengan jenis pekerjaan kebanyakan orang di era informasi seperti sekarang. Asal-usul kerja delapan jam sehari ternyata ada pada era revolusi industri di abad ke-18.
Di akhir abad ke-18, jam kerja yang lazim sebetulnya adalah 10-16 jam per hari. Alasannya adalah pabrik-pabrik di era tersebut perlu berjalan terus-menerus selama 24 jam.
Namun jam kerja ini terasa brutal dan tidak sustainable, sehingga para aktivis seperti Robert Owen dari Wales mencetuskan jam kerja yang lebih pendek. Slogannya yang populer berbunyi, “Delapan jam kerja, delapan jam rekreasi, delapan jam istirahat.”
Pola kerja delapan jam ini baru menjadi standar hampir seabad kemudian, yaitu ketika Ford Motor Company menerapkannya pada tahun 1914. Tidak hanya memotong jam kerja, Ford juga melipatgandakan gaji para karyawan. Hasilnya, produktivitas perusahaan meningkat pesat.
Jam kerja delapan jam dicetuskan dalam rangka memperlakukan karyawan lebih manusiawi, tapi kini sudah waktunya kembali berinovasi. Sebuah riset menunjukkan bahwa dalam waktu delapan jam kerja tersebut, rata-rata waktu produktif karyawan hanya berkisar tiga jam saja.
Dari survei terhadap hampir dua ribu pekerja kantoran di Inggris, hanya 21 persen yang mengaku benar-benar produktif sepanjang hari. Sementara sisanya, selain tiga jam produktif tersebut, menghabiskan waktu untuk hal-hal seperti:
- Mengecek media sosial (44 menit)
- Membaca situs berita (1 jam 5 menit)
- Mengobrol tentang hal di luar pekerjaan (40 menit)
- Membuat minuman (17 menit)
- Merokok (23 menit)
- Mengirim SMS/chatting (14 menit)
- Makan camilan (8 menit)
- Membuat makanan di kantor (7 menit)
- Menelepon partner atau teman (18 menit)
- Mencari pekerjaan baru (26 menit)
Hanya 35 persen dari seluruh responden yang mengaku bisa menjalani hari dengan fokus bekerja tanpa terpengaruh pengalih perhatian dari luar. Sebagian orang yang tak bisa, beralasan bahwa pengalih perhatian seperti hal-hal di atas membantu mereka untuk menjalani hari dengan produktif.
Apa artinya ini? Tempat kerja modern memang penuh dengan hal-hal yang bisa memecah konsentrasi kita, mulai dari beragam gadget hingga makanan dan minuman ringan.
Tetapi ini juga berarti bila kamu bisa menyingkirkan semua pengalih perhatian tersebut, kemudian fokus hanya pada pekerjaan selama tiga jam saja, kamu sudah bisa mencapai produktivitas setara dengan pekerja kantoran rata-rata.
Sumber Gambar: Autoblog
Cara kerja seperti ini bisa diterapkan oleh para pekerja lepas alias freelancer, atau mereka yang bekerja remote dari rumah. Terkadang, bila kamu bekerja dari rumah, kamu akan merasa seperti sedang underperforming karena tidak ke mana-mana. Padahal bila kamu fokus, bisa jadi produktivitasmu lebih tinggi daripada mereka yang setiap hari pulang pergi ke kantor.
Informasi di atas kemudian memunculkan pertanyaan baru bagi kita: Apa yang akan terjadi bila kita memotong jam kerja lebih singkat lagi? Swedia telah mencoba bereksperimen dengan jam kerja enam jam per hari, dan terbukti sistem ini membuat para karyawan lebih puas, lebih sehat, serta memiliki kualitas kinerja lebih baik.
Meski pada akhirnya sistem baru tersebut dibatalkan karena masalah dana, kita tidak bisa menampik bahwa ada potensi terpendam di baliknya. Dalam jangka pendek memang hasilnya belum terlihat, namun kesehatan dan produktivitas karyawan yang lebih baik itu bisa memberi keuntungan besar dalam jangka panjang. Tinggal bagaimana cara eksekusi yang tepat.
Jam kerja yang lebih singkat namun lebih produktif tentu saja menggiurkan. Sekarang pertanyaannya, siapa yang berani membuktikan bahwa jam kerja kita bisa dipangkas?
Perusahaan apa yang akan menjadi Ford Motor Company berikutnya, dan menjadi pionir yang mempopulerkan standar baru? Bisa jadi pionir itu adalah perusahaanmu. Berani memulainya? [tia/aphttps://id.techinasia.com/produktivitas-freelance-versus-kantoran]