Pada tanggal 15 September 2016 yang lalu, Reuters melaporkan bahwa Direktorat Jenderal (Dirjen) Pajak akan menyelidiki raksasa internet Google terkait indikasi pelanggaran pajak. Kecurigaan ini bermula dari penolakan Google atas surat permintaan izin untuk mengaudit laporan pajak perusahaan tersebut yang dikirim pada bulan April 2016 silam.
Puncaknya, pada tanggal 19 September 2016 kemarin, beberapa penyidik pajak langsung mendatangi kantor perwakilan Google di Indonesia. Menurut Muhammad Haniv, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus, pihaknya akan mengejar kekurangan pembayaran pajak yang dilakukan Google selama lima tahun terakhir.
“Jika dinyatakan bersalah, Google bisa diharuskan membayar hingga empat kali dari pajak yang tidak mereka bayarkan, dengan nilai bisa mencapai Rp5,5 triliun untuk tahun 2015 saja,” ujar Haniv. Di awal tahun ini, Google dan Temasek merilis sebuah laporan yang menyatakan bahwa pasar periklanan digital di Indonesia pada tahun 2015 bisa bernilai sekitar US$300 juta (sekitar Rp3,9 triliun).
Google Indonesia menyatakan bahwa mereka telah dan akan terus bekerja sama dengan pemerintah Republik Indonesia, serta telah dengan taat membayar semua pajak yang berlaku di Indonesia.
Indonesia butuh pendapatan tambahan
Indonesia saat ini memang sangat membutuhkan pendapatan tambahan, terutama dari sektor pajak. Dari target Rp1.355 triliun untuk 2016, Dirjen Pajak baru berhasil mengumpulkan Rp656 triliun pada tanggal 13 September 2016 yang lalu.
Program pengampunan pajak (Tax Amnesty) yang diluncurkan pemerintah untuk mengatasi kekurangan ini pun baru mampu mengumpulkan Rp14,9 triliun hingga tanggal 13 September 2016, masih jauh dari target Rp165 triliun. Hal ini membuat Menteri Keuangan Republik Indonesia yang juga mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia, Sri Mulyani Indrawati, memperkirakan kalau penerimaan pajak di akhir tahun akan defisit Rp218 triliun dari target.
Meski begitu, Dirjen Pajak tetap berusaha sekuat tenaga untuk mengejar pajak dari berbagai pihak, termasuk dari pemain besar bisnis digital seperti Google, Facebook, Twitter, danYahoo.
Kelemahan aturan pajak tanah air
Meski begitu, mengejar pajak dari perusahaan asing seperti Google ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Menurut Yustinus Prastowo, praktisi regulasi lokal dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), aturan pajak di Indonesia belum siap untuk menghadapi bisnis internet.
Juru Bicara Kemenkominfo, Noor Iza, mengatakan bahwa aliran transaksi untuk Google dari tanah air justru masuk ke kantor Google di Singapura, sehingga bisa lolos dari pajak. Kantor Google yang berada di Indonesia hanyalah kantor perwakilan yang berstatus bukan Bentuk Usaha Tetap (BUT).
Sayangnya, sejauh ini memang belum ada aturan yang mengharuskan perusahaan teknologi internasional untuk memiliki kantor cabang dengan status BUT di Indonesia. “Google tahu kelemahan dari sistem pajak kita,” ujar Yustinus kepada The Jakarta Globe.
Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) saat ini tengah membuat aturan baru untuk para penyedia layanan internet over the top (OTT) seperti Google, dan kantor pajak mengajukan dalam aturan tersebut agar setiap penyedia layanan OTT di Indonesia harus bisa dikenakan pajak.
Lalu bagaimana solusinya?
Masalah yang dialami Indonesia sebenarnya juga dihadapi oleh negara-negara lain. Perancismeminta Google membayar US$1,76 miliar (sekitar Rp23 triliun), sedangkan Italiamemerintahkan Google membayar kekurangan pajak dari tahun 2007 hingga 2013 yang bernilai US$327 juta (sekitar Rp4,3 triliun).
Tapi bagaimana Dirjen Pajak bisa menarik pajak dari Google, walau belum mempunyai aturan resmi? Mungkin mereka bisa mengikuti langkah pemerintah Inggris yang menghapus utang pajak dan denda yang harus dibayarkan Google selama sepuluh tahun. Sebagai balasannya,Google pun membayar US$140 juta (sekitar Rp1,8 triliun). [TIA/AP]