Menjalankan sebuah perusahaan bukan hal mudah, termasuk untuk developer game. Terkadang muncul salah paham bahwa hidup developer game itu isinya bersenang-senang saja, padahal untuk menghasilkan produk menyenangkan butuh kerja keras. Banyak kesulitan yang muncul di dunia pengembangan game, mulai dari sumber penghasilan yang bisa tiba-tiba lenyap hingga PHK massal.
Bila kamu bertanya, mengapa mau terjun ke dunia game yang penuh risiko? Biasanya jawaban para developer itu akan sama: karena mereka mencintai video game.
Bagi para developer ini, tidak ada yang bisa mengalahkan nikmatnya mewujudkan ide kreatif dalam sebuah produk, merilisnya di pasaran, dan melihat bahwa orang-orang menyukainya. Di industri game, kesempatan bekerja itu sendiri adalah imbalan yang terbesar.
Semangat serupa juga dimiliki oleh salah satu studio game Indonesia yang berlokasi di Tangerang, yaitu GameChanger Studio. Nama studio ini sempat naik daun berkat game PC nyeleneh yang viral di internet, yaitu NSFW ~ Not a Simulator For Working. Mereka juga telah merilis puzzle-platformer berjudul Ascender yang merupakan ambisi besar sejak mereka menjejakkan kaki di ranah PC.
Pada Mei 2017 lalu, saya berkesempatan mampir di markas GameChanger Studio untuk melihat kegiatan mereka dari dekat, sekaligus mendengarkan pengalaman mereka yang selama ini tidak tampak di permukaan. Perjalanan GameChanger Studio penuh aral melintang, tapi juga mengandung banyak pelajaran tentang sustainability yang bisa diambil oleh sesama developer di tanah air. Simak kisah mereka di bawah.
Studio yang terlahir di kampus
GameChanger Studio lahir dari buah pikiran civitas academica Universitas Multimedia Nusantara yaitu, Dodick Zulaimi Sudirman (dosen), Riris Marpaung (kepala perpustakaan), dan lima orang mahasiswa. Ketika pertama kali berdiri pada Juni 2013, studio ini masih menggunakan nama Gambreng Games dan bertujuan fokus pada platform mobile.

Riris dan Dodick dari Gambreng Games
“Awalnya tentu saja ke mobile, karena memang pasar mobile saat itu masih sangat menjanjikan. Dan kalau ke PC sepertinya kami belum punya pengalaman yang diperlukan,” cerita Riris pada Tech in Asia Indonesia. Keputusan yang tepat, terbukti game pertama mereka yaitu Prototype berhasil meraih predikat Best Game for Smartphone di ajang Indonesia Game Show 2013.
Hingga akhir 2014, Gambreng Games terus fokus berkarya di platform mobile. Beberapa produk yang mereka hasilkan antara lain June’s Potion yang bergenre stealth, game free-to-play kasual berjudul LARON, dan lain-lain. Berbagai game tersebut berhasil mencapai jumlah unduhan lumayan, juga sempat dimuat di media mainstream lokal seperti Kompas Tekno. Tapi ada satu masalah.
“Selama mobile, Gambreng tidak menghasilkan uang,” ujar Dodick. Menurut pengakuannya, pendapatan seumur hidup Gambreng Games di ranah mobile bahkan tidak mencapai US$100 (sekitar Rp1,35 juta), baik dari game premium ataupun freemium. Kegagalan ini mendorong Dodick dan Riris keluar dari pekerjaan mereka di UMN untuk lebih serius di Gambreng Games.
Mencari peluang di segala bidang
Kurang lakunya produk, ketiadaan sumber pemasukan lain, serta kepergian beberapa orang co-founder memaksa Dodick dan Riris untuk memutar otak. Mereka mulai melakukan riset dan mencari data seputar peluang di bidang lain. Salah satu peluang yang dipilih adalah marketplace terpopuler dunia untuk game PC, Steam.
“Waktu itu masih ada modal lumayan, jadi kami mulai meriset peluang lain. Bisa dibilang kami punya mimpi yang terlalu besar. Kami ingin membuat game adventure PC yang bisa dijual di Steam, sehingga muncullah Ascender itu,” ungkap Riris. Para kru Gambreng Games memang penggemar game platformer seperti Ori and the Blind Forest, Braid, serta FEZ.
Riris menyebut Ascender terlalu besar sebab saat itu mereka belum memiliki pengalaman dan keahlian membuat game PC. Alhasil, lingkup proyek game tersebut menggelembung, juga menghabiskan waktu lebih lama dari yang direncanakan. Gambreng Games sempat merekrut beberapa kru tambahan khusus untuk Ascender, tapi tetap baru bisa merilisnya setahun lebih lambat dari jadwal semula.
Bersamaan dengan dimulainya pengembangan game PC, Gambreng Games juga melakukan pelebaran usaha ke bidang lain. Mereka mencetuskan dua brand baru, yaitu Gundu Productions dan GameChanger Studio. Setiap brand memiliki tujuan pasar dan jenis game yang berbeda-beda, tapi sebenarnya orang-orang di dalamnya sama saja.
Sesuai dengan fokus awal, Gambreng Games tetap berkutat pada mobile. Gundu Productions berfokus pada game pendidikan (edugame) dan outsourcing. Brand kedua ini tidak memandang platform, dan telah berkarya di mobile, PC, hingga board game. Sementara nama GameChanger Studio disematkan pada game PC yang mereka jual di pasar global.
Dodick berkata bahwa sebenarnya di PC pun nama Gambreng bisa digunakan, tapi mereka memilih membuat brand baru untuk menyesuaikan dengan pasar Amerika. “Kalau bertemu orang bule, mereka bengong ketika kita sebut nama Gambreng. Tapi kalau GameChanger kan memang kata-kata yang mereka tahu di telinga,” ujar Riris.
Kesempatan di ranah kasual
Hingga tahun 2016, brand Gundu Productions berhasil menjadi usaha yang menghasilkan uang, tapi tidak demikian dengan GameChanger Studio. Hampir dua tahun dikembangkan, Ascender masih belum kunjung terbit, dan mereka sudah hampir kehabisan dana untuk melanjutkan operasional. Moral para karyawan sangat rendah, dan perusahaan berada di ambang kebangkrutan.
Dodick dan Riris sudah berpikir bahwa bila mereka tidak bisa hidup dari membuat karya orisinal (bukan outsourcing/client-based), lebih baik studio ditutup saja. Tapi menutup studio adalah langkah terakhir yang akan dilakukan bila semua usaha sudah mentok. Mereka masih belum menyerah, dan memulai riset lebih lanjut untuk mencari peluang baru.

NSFW ~ Not a Simulator For Working
“Kami menemukan bahwa ternyata di Steam kami tidak harus berjualan game sekaliber FEZ atau Braid. Ada juga game kasual dengan harga US$0,99 sampai US$2,99 yang penjualannya di SteamSpy mencapai ratusan ribu kopi per game,” tutur Dodick. Game seperti ini punya lingkup kecil dan bisa dibuat dalam waktu singkat. Tapi untuk sukses, game tersebut harus memiliki keunikan yang bisa menarik pengguna.
Berminat dengan prospek baru yang ditemukan, GameChanger Studio pun mengadakan game jam internal dengan tema game PC kasual yang unik. Dari situ akhirnya lahir NSFW ~ Not a Simulator For Working. Berkat eksposur dari beberapa channel YouTube terkenal, game ini cukup sukses, memberikan kesempatan bagi GameChanger Studio untuk menyambung napas.
Kata Riris, “NSFW juga salah satu upaya kami untuk move on, karena kami sudah kehabisan duit untuk mengembangkan Ascender.” Keberhasilan NSFW memberi dorongan pada tim untuk menyelesaikan Ascender, dan akhirnya game puzzle-platformer tersebut resmi dirilis pada Maret 2017. Sebuah pencapaian yang sangat melegakan, walaupun secara finansial game ini jauh di bawah NSFW.
Antara riset dan refleksi diri
“Sebenarnya yang ingin saya sampaikan di post-mortem Ascender adalah kalau kamu ‘anak baru’, mulai saja dari membuat yang kecil dan gampang dulu. Tidak usah yang kompleks dan makan waktu bertahun-tahun,” kata Riris kemudian. Bukan berarti tidak boleh punya impian besar, tapi kita harus sadar akan keterbatasan. Bila impian besar tidak disertai kemampuan dan pengalaman yang mumpuni, impian itu hanya akan terus jadi mimpi.
Menurut Dodick, Ascender adalah game yang bagus di konsep awal tapi kurang baik saat implementasi. Meski sudah melalui riset dan perencanaan mendetail, ketika diubah ke dalam wujud game hasilnya tidak sesuai dengan bayangan dan keinginan pasar. Ini terjadi karena para kru GameChanger Studio masih kurang ahli dalam pengembangan game PC.
Bukan berarti tidak boleh punya impian besar, tapi kita harus sadar akan keterbatasan.
“Kadang orang hanya melihat luarnya saja. Misalnya developer Braid, sebelum membuat Braid dia sudah pernah membuat banyak game lebih dulu. Dari pengalaman banyak itu baru kemudian dia membuat game seperti yang dia inginkan,” lanjutnya. Memang ada juga game seperti FEZ yang merupakan karya pertama si developer, tapi proses pengembangannya menghabiskan waktu sangat lama, hingga lima tahun.

Suasana kerja di markas GameChanger Studio
Belajar dari pengalaman itu, GameChanger Studio kini fokus untuk mengembangkan game dengan lingkup yang lebih kecil. Mereka juga memanfaatkan Steam Greenlight sebagai alat validasi ide.
Mengukur minat lewat Greenlight jelas lebih meyakinkan daripada sok tahu akan apa yang diinginkan oleh pasar. Sayangnya Steam Greenlight sudah ditutup dan digantikan dengan Steam Direct, sehingga cara ini tidak bisa digunakan lagi.
Fokus pada sustainability
Tujuan GameChanger Studio dalam jangka pendek sederhana saja: sustainability alias bertahan hidup. “Tahun ini (2017) adalah tahun penentuan. Kalau kita tidak sustain, ya mungkin memang saatnya menyadari bahwa kita tidak bisa sustain,” kata Dodick. Untuk mencapai tujuan tersebut, Dodick dan Riris sudah memiliki beberapa rencana.
Rencana yang saat ini tengah berjalan adalah kerja sama dengan penerbit lokal, yaitu Toge Productions. Lewat game simulasi berjudul My Lovely Daughter, GameChanger Studio menjadi salah satu dari empat studio yang kini berada di bawah naungan Toge Productions. My Lovely Daughter telah dipamerkan dalam ajang Casual Connect Asia 2017 dan direncanakan untuk terbit pada tahun 2017 ini.
Di samping kerja sama itu, mereka juga memiliki beberapa rencana untuk mengincar investor atau seed funding. Tapi Dodick masih berhati-hati dan belum bisa membeberkan detailnya, karena tak ingin investasi itu pada akhirnya hanya jadi “bakar uang” lagi. Bila pada akhirnya semua rencana ini tidak berhasil, maka GameChanger Studio sudah siap mengumumkan pembubaran diri di akhir tahun.
Meski siap menerima kemungkinan terburuk, Riris menolak disebut menyerah. “Kami di sini realistis, bukannya mau menyerah. Kalau menyerah, kami tidak akan merilis Ascender. Kami tidak akan mau bekerja sama dengan penerbit,” tegasnya. “Kami tidak sedang menyerah. Tapi kami sedang dihadapkan pada kenyataan pahit yang harus kami terima.”
Dodick menambahkan, “Kalau mau terus sih sebenarnya bisa. Jual rumah, jual mobil, pokoknya terus sampai berhasil. Tapi kan yang buang-buang waktu bukan cuma kami berdua. Mereka (para kru) juga punya passion atau keinginan lain di luar sana yang mungkin kita belum tahu. Kita juga tidak berpikir bahwa kita takkan bertemu lagi dengan industri game.”

GameChanger Studio berbagi kepada para mahasiswa Universitas Indonesia | Sumber Gambar: Duniaku.net
Andai memang harus tutup pun, Dodick dan Riris ingin melakukannya dengan elegan. Tidak hanya sekadar tutup lalu menghilang. Mereka ingin semua urusan sudah selesai, semua game sudah dirilis, semua kontrak sudah dibereskan, dan para anak magang yang berada di sana sudah menyelesaikan program magangnya.
Dodick dan Riris juga akan terus berbagi kepada kawan-kawan developer lain tentang pelajaran yang mereka dapat selama menjalankan studio game. Dengan demikian, seandainya GameChanger Studio jadi tutup, mereka punya suatu warisan yang bisa ditinggalkan. “Kalau kemarin kami punya post-mortem NSFW, mungkin nantinya kami akan membuat post-mortem GameChanger Studio,” ujar Dodick.
Industri game memang dunia yang keras. Kita banyak mendengar kisah-kisah sukses rags to riches seperti dalam film Indie Game: The Movie. Kisah-kisah seperti ini bisa mendatangkan inspirasi, tapi tidak boleh membuat kita terlena.
Punya mimpi besar itu bagus, tapi pandangan realistis serta sustainability adalah hal yang tak kalah penting, dan GameChanger Studio menyadarinya setelah melalui berbagai perjuangan dengan susah payah. Semoga saja di GameChanger Studio bisa terus menghasilkan karya berkualitas dan ikut menyuburkan industri game di negeri kita tercinta.
Situs Web: Gambreng Games
Facebook: GameChanger Studio