Apapun jenisnya, setiap bisnis pasti ingin memberikan pengalaman yang terbaik untuk para konsumennya. Sayangnya, tidak semua pelaku bisnis berhasil melakukan hal tersebut. Padahal, seperti yang kita semua tahu, pengalaman konsumen sangat berpengaruh terhadap loyalitas mereka terhadap brand kamu. Untuk masalah satu ini, sepertinya kamu harus belajar banyak dari Slack, platform komunikasi berbasis cloud.
Slack biasanya digunakan perusahaan untuk memudahkan aktivitas komunikasi tim internal. Selain melakukan chatting privat, kamu juga bisa membuat Channel untuk membahas topik-topik tertentu dengan partisipan yang kamu inginkan. Secara tidak langsung, hal tersebut dapat membantu perusahaan untuk menerapkan sistem kerja yang efisien.
Kamu mungkin sudah bisa membayangkan apa yang terjadi ketika Slack mendadak down selama beberapa jam. Panik? Tentu. Konsumen melayangkan komplain? Pasti.
Hebatnya, Slack mampu mengatasi krisis tersebut dengan mulus dan profesional. Tidak hanya sistem yang kembali berjalan lancar, follower media sosial mereka pun bertambah hingga ribuan orang! Bagaimana bisa? Inilah studi kasus nyata yang dialami oleh Slack pada 23 November 2015. Kasus ini bisa menjadi pelajaran bagi startup saat menghadapi masa-masa krisis.
Slack, salah satu startup jagoan Silicon Valley
Di kalangan pegiat startup, Slack menjadi platform komunikasi yang cukup populer. Hal ini terkait dengan prestasi Slack dalam mendapatkan pendanaan hingga mencapai hampir US$3 miliar (sekitar Rp40 triliun), membuatnya dikenal sebagai salah satu unicorn favorit dari Silicon Valley.
Padahal, dulu awalnya Slack hanya merupakan perangkat internal yang dibangun oleh Stewart Butterfield untuk perusahaannya, Tiny Speck. Namun akhirnya Slack resmi diluncurkan ke publik pada Agustus 2013.
Kini, menurut situs Mashable, pengguna aktif Slack sudah mencapai lebih dari satu juta orang setiap harinya. Slack bahkan mengklaim bahwa pengguna mereka rata-rata menghabiskan sepuluh jam sehari dalam membuka aplikasi ini. Sebagai perbandingan saja, pengguna YouTube bahkan “hanya” menghabiskan 7,7 jam sehari!
Kami di Penulis.id juga menggunakan Slack untuk mengoordinasikan pekerjaan, baik untuk berdiskusi tentang proyek tertentu atau mengirimkan dokumen. Kami tak perlu sering membuka email sehingga sistem kerja menjadi lebih efisien. Sejak awal kami menggunakan Slack, kami telah disuguhkan dengan pengalaman yang simpel dan begitu “mengalir”.
Dengan kata lain, para pengguna Slack sangat mengandalkan platform ini untuk komunikasi internal. Apabila Slack mengalami masalah, produktivitas dan efisiensi kerja tentu akan sangat terganggu.
Sayangnya, mimpi buruk tersebut benar-benar terjadi ketika Slack mengalami down pada 23 November 2015.
Melalui akun Twitter resminya, Slack mengabarkan bahwa saat itu mereka sedang mengalami sporadic connectivity issues dan akan terus memberikan update kepada follower tentang perkembangan penyelesaiannya.
Di sisi lain, semakin banyak pengguna Slack yang menyadari isu tersebut dan melayangkan komplain melalui Twitter. Beberapa orang memilih untuk menjadikannya sebagai bahan konten tweet berbau humor; banyak pula yang mengeluh tetapi yang komplain? Tentu jumlahnya tidak sedikit.
Manfaatkan Twitter untuk atasi krisis
Menariknya, jeda antara satu tweet dengan yang lain hanya mencapai hitungan detik. Beberapa bahkan tidak sampai sepuluh detik! Dari yang semula merasa kesal, sebagian orang pun jadi penasaran dan bertanya-tanya: “siapa yang bisa mengetik secepat itu?”
Dari sekian banyak media yang tersedia, siapa sangka Twitter justru menjadi sarana yang cukup efektif untuk menangani krisis. Saat krisis tersebut terjadi, Slack mengirimkan banyak sekali tweet demi membalas setiap Mention yang masuk. Meskipun terbatas 140 karakter, Slack berhasil meramu setiap jawaban untuk merespons semua Mention.
Menariknya, jeda antara satu tweet dengan yang lain hanya mencapai hitungan detik. Beberapa bahkan tidak sampai sepuluh detik! Dari yang semula merasa kesal, sebagian orang pun jadi penasaran dan bertanya-tanya: “siapa yang bisa mengetik secepat itu?”
Ternyata, demi mengatasi krisis tersebut, Slack menggunakan sebuah perangkat internal yang memungkinkan mereka untuk melakukan koordinasi tim dalam menangani isu-isu tertentu di Twitter.
Hasilnya, hanya dalam beberapa jam saja selama down terjadi, akun Twitter @SlackHQ tercatat telah mengirimkan tweet hingga lebih dari 2.300 kali. Hebatnya lagi, tim Slack selalu membalas setiap Mention dengan pendekatan personal, baik saat menanggapi komplain maupun menenangkan pengguna.
Para pengguna pun merasa cukup puas dan senang dengan respons bernada personal yang mereka terima. Akun @SlackHQ pun mendapat 3.300 follower baru di Twitter. Jumlah tersebut bahkan tujuh kali lebih banyak dari hari-hari di bulan sebelumnya!
Fokus pada pengguna
Kemahiran Slack dalam mengatasi krisis tidak terjadi secara tiba-tiba. Butterfield dan CMO Slack, Bill Macaitis, ternyata sejak dulu memang dikenal sebagai pelaku startup yang fokus pada pelanggan. Saat Slack masih berada dalam tahap beta, Butterfield dan co-founder lainnya memastikan bahwa mereka mempertimbangkan setiap masukan demi menciptakan produk yang lebih baik lagi.
Macaitis mengaku bahwa Customer Service merupakan divisi kedua di Slack yang paling banyak merekrut karyawan. Tidak main-main, Slack mengharuskan seluruh karyawannya (bahkan para teknisi sekali pun!) untuk bergantian bekerja di divisi Customer Service.
Dikutip dari situs Customer Guru, inilah cara Slack memastikan agar setiap orang di perusahaannya tidak hanya memahami, tetapi juga menerapkan budaya customer-centric di pekerjaan sehari-hari:
- Setiap karyawan baru diharuskan untuk bekerja selama dua hari penuh di bagian Support.
- Para desainer dan teknisi diharuskan bekerja di bagian Support selama dua jam per minggu.
- Segala hal yang berkaitan dengan Support telah terhubung dengan aplikasi Slack, sehingga setiap orang dapat belajar dari satu sama lain.
- Rangkuman mingguan tentang performa Support dibagikan setiap Senin pagi di Channel “General” aplikasi Slack mereka.
Pelajaran apa yang bisa dipetik?
Menurut Macaitis, sebuah brand merupakan akumulasi dari setiap pengalaman yang dimiliki pelanggan dengan perusahaan kamu. Brand yang kuat akan selalu menghasilkan pertumbuhan dan keuntungan jangka panjang. Itulah sebabnya kamu perlu memikirkan life cycle pelanggan agar bisa terus meningkat interaksi mereka dengan perusahaan kamu.
Jadi, tidak mengherankan jika Macaitis menerapkan berbagai peraturan di atas untuk para karyawannya. Apapun jabatannya, di divisi mana pun karyawan ditugaskan, mereka memiliki pengetahuan dasar yang kuat tentang para pelanggan. Sehingga dalam setiap proses kerja, mereka pun selalu memikirkan pelanggan.
Di sisi lain, Slack juga memahami bahwa sikap dan perilaku pelanggan akan terus mengalami perubahan dan menyesuaikan zaman. Oleh sebab itu, setiap minggunya, mereka melakukan pertemuan untuk membahas performa tim Support dan membagikan rangkuman dari pembahasan pertemuan tersebut ke seluruh karyawan. Hal ini akan membuat karyawan terus update dengan informasi terkini tentang orang-orang yang menggunakan aplikasi mereka.
Pada akhirnya, pengalaman baik yang didapatkan pelanggan akan membuat mereka bahagia dan menyebarkan “kebahagiaan” tersebut melalui rekomendasi brand kamu ke orang-orang lain. Pengalaman baik tersebut tidak hanya bisa didapatkan dari produk yang customer-centric, tetapi juga pengelolaan pelanggan secara humanis.
Slack sadar betul bahwa peristiwa down tersebut disebabkan oleh isu konektivitas mereka sendiri. Mereka menjelaskan masalah tersebut dengan apa adanya melalui Twitter. Mereka memilih untuk membalas setiap tweet secara personal, bukan menggunakan jawaban standar yang disalin dari tweet sebelumnya.
Sisi humanis inilah yang membuat pengguna Slack setidaknya merasa “baik-baik saja” meskipun kemungkinan besar pekerjaan mereka terganggu. Bahkan balasan tweet personal ini jugalah yang sepertinya membuat banyak orang memutuskan untuk mengikuti akun Slack di Twitter.
Slack sadar betul bahwa peristiwa down tersebut disebabkan oleh isu konektivitas mereka sendiri. Mereka menjelaskan masalah tersebut dengan apa adanya melalui Twitter. Mereka memilih untuk membalas setiap tweet secara personal, bukan menggunakan jawaban standar yang disalin dari tweet sebelumnya.
Setelah tiga jam mengalami down, Slack akhirnya berhasil kembali beroperasi dengan normal. Slack membuktikan bahwa budaya kerja customer-centric memang mampu menciptakan pengalaman yang menyenangkan bagi pelanggan, bahkan pada saat krisis sekali pun.
Krisis ini juga menunjukkan seberapa besar kepedulian pengguna terhadap Slack. Terbukti dari banyaknya pengguna yang mengirimkan tweet dukungan kepada Slack untuk melewati masa krisisnya. [tia/ap]