Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mulai mensosialisasikan kewajiban melakukan registrasi SIM card untuk pelanggan jasa layanan telekomunikasi, baik yang baru maupun lama, dengan validasi menggunakan Nomor Induk Kependuudukan (NIK) dan Kartu Keluarga (KK).
Aturan yang akan efektif diterapkan mulai 31 Oktober 2017 ini menuai pro dan kontra. Sebagian mendukung dan tidak merasa keberatan melakukan registrasi (dan registrasi ulang), guna mengendalikan penyalahgunaan nomor seluler.
Sebagian lainnya menolak karena sebelumnya, pemerintah sudah pernah memberlakukan aturan serupa. Tidak ada jaminan aturan baru yang akan dilaksanakan benar-benar berjalan lebih baik dari sebelumnya.
Kekhawatiran lain yang menjadi sorotan adalah soal privasi. Pasalnya, operator dapat mengintip nama, tempat dan tanggal lahir, serta alamat penggunanya. Registrasi SIM Card terancam mengganggu privasi pelanggan seluler yang ada di Indonesia yang jumlahnya tercatat lebih dari 300 juta orang.
Berkaitan isu yang tengah hangat dibahas ini, sebagai mana kutipan dari detik, menanyakan pendapat dan pandangan dari pengamat sekaligus gadget enthusiast Lucky Sebastian.
Memang mau tidak mau kita harus lebih tertib kalau mau menuju negara yang lebih teratur berbasis teknologi. Hal paling mudah dilihat adalah segala kerepotan saat Pilkada, yang sumbernya satu: database penduduk yang berantakan. Jika database lengkap dan akurat, semua kerepotan, baik waktu dan biaya besar bisa dihindari.
Di era teknologi, memang database ini sangat penting, termasuk tanggung jawab atas kepemilikan nomor telepon. Sebelum ponsel booming, nomor telepon rumah atau kantor juga senantiasa memiliki identitas nama dan alamat.Â
Negara-negara maju memiliki database nomor telepon yang lebih solid, makanya agak aneh buat mereka menemukan smartphone dual SIM, karena untuk mereka satu nomer tersebut sudah cukup.Â
Soal operator mereka bisa pindah tanpa harus berganti nomor yang dikenal dengan mobile number portability. Jadi, nomor melekat dan menjadi milik seseorang, bukan milik operator.Â
Saat kita menjadi pendatang dan membeli SIM card di negara-negara maju, mereka juga senantiasa meminta paspor untuk mengaktifkannya. Tidak bisa langsung digunakan.
Masalah di kita adalah mudahnya membeli nomor prabayar, dan registrasi bisa dilakukan sembarangan. Nomor KTP kita masukkan sembarang 16 angka juga diterima. Ini malah absurd, kenapa pula harus registrasi jika data yang dimasukkan tidak terhubung dengan pusat database dan tidak bisa dikonfirmasi kebenarannya.Â
Kita juga lihat layanan prabayar ini juga sering disalahgunakan, untuk penipuan, melakukan ancaman dan banyak kejahatan lain yang sulit dilacak. Jika nomor telepon menyangkut database seseorang, pengguna akan berpikir lebih jauh jika ingin menggunakannya untuk hal yang tidak pantas.
Nah, tinggal pelaksanaannya apakah bisa diawasi dan dilaksanakan dengan benar. Kalau tidak ya senantiasa akan membuka celah. Semoga pemerintah benar siap secara detail untuk melaksanakannya.Â
Misalnya jika lewat provider yang ditunjuk, memang ditetapkan provider tersebut harus memiliki ISO 27001 untuk manajemen data. Tetapi bagaimana dengan data pelanggan saat di-input operator, fotocopy KTP dan KK supaya tidak tercecer dan tidak disalahgunakan?
Bagaimana kalau penjahat menggunakan KTP dan KK orang lain untuk mendaftar? Bagimana cara pencegahannya? Bagaimana dengan pelajar atau anak-anak yang sekarang sudah memiliki smartphone, tetapi belum memiliki KTP?
Memang database ini merupakan data sensitif. Mungkin saja untuk sebagian orang pengumpulan data ini bisa mengganggu kebebasan. Tetapi memang di negara-negara maju, database yang rapi merupakan modal untuk bisa digunakan bagi kepentingan rakyat dan pengawasan.Â
Manusia cenderung baru tertib jika ada pengawasan dan ‘pemaksaan’, sampai suatu saat benar baru bisa sadar sendiri. Lihat saja pajak kendaraan bermotor, sebelum dilakukan pajak progresif siapa yang mau pusing berganti nama saat menjual kendaraan?
Jadi memang harus ada sanksi baru orang mulai belajar tertib dengan penggunaan nomor telepon. Efek sampingnya mungkin berimbas kepada operator dan kios-kios eceran mereka, tidak mudah untuk orang mau terus berganti nomor.Â
Dan mungkin kita akan melihat lebih real berapa sebenarnya penetrasi nomor telepon yang benar aktif di Indonesia. Database yang lebih real dan tepat tentu menentukan untuk bisa mengambil arahan dan aturan untuk pengembangan ke depan.
Suatu saat jika nomor telepon sudah masuk jadi database terpusat, setiap kita mendaftarkan sesuatu atau mengisi form, nomor ini bisa jadi muncul otomatis dan tidak perlu lagi diinput manual, selain menghindari kesalahan juga mempersingkat waktu. Berapa banyak waktu dan tenaga bisa dihemat untuk 300 juta nomor telepon yang dikabarkan beredar di Indonesia?
Badan pengawasan mungkin diperlukan lebih kepada supaya penggalangan database ini jangan sampai disalahgunakan, dan benar-benar digunakan sebagaimana seharusnya. Karena di era internet ini, database sangat berharga dan memang bisa dijual untuk berbagai kepentingan, dari marketing bahkan hingga target kejahatan, atau yang juga ditakutkan digunakan sebagai tekanan untuk kekuasaan.
Satu hal yang krusial juga, bagaimana database ini jangan sampai mudah dibobol pihak lain, ini yang sedang dihadapi di era internet. [dt/ap]