Optimisme menjadi hal yang sangat penting mengingat nilai saham GoTo mengalami penurunan sekitar 20 persen dalam enam bulan terakhir, mencerminkan ketidakpastian investor terhadap prospek profitabilitas perusahaan ini.
Bagi TikTok Shop, kesepakatan ini dianggap sebagai langkah krusial dalam upayanya untuk kembali hadir di pasar terbesar Asia Tenggara. Gross merchandise value (GMV) atau nilai transaksi bruto perusahaan ini diperkirakan mencapai US$20 juta (Rp311 miliar). Ketiadaan TikTok Shop selama dua bulan di Indonesia dianggap sebagai kemunduran yang signifikan.
Namun, pertanyaan muncul apakah kerja sama ini benar-benar merupakan kolaborasi yang sesuai untuk segmen e-commerce. Keraguan timbul mengenai sejauh mana kedua perusahaan ini melengkapi satu sama lain, dan apakah kemitraan tersebut cukup kuat untuk menghadapi dominasi Shopee di Indonesia.
Tech in Asia mencoba menghubungi TikTok Indonesia dan Tokopedia untuk mendapatkan tanggapan, namun keduanya menolak untuk berpartisipasi dalam wawancara ini.
Integrasi atau Kreasi?
Dalam kesepakatan ini, TikTok Shop akan mendapatkan manfaat langsung dari lisensi e-commerce yang dimiliki oleh Tokopedia. Jika tujuannya adalah pangsa pasar, maka kombinasi kekuatan Tokopedia dan TikTok Shop dapat menguasai 40 persen pasar e-commerce di Indonesia, menantang 35 persen pangsa pasar Shopee, menurut riset dari perusahaan venture builder Momentum Works.
Namun, situasinya sebenarnya lebih kompleks daripada perkiraan tersebut. Pendekatan yang paling mudah adalah mengintegrasikan lalu lintas TikTok ke Tokopedia, memungkinkan pedagang di TikTok melakukan live-commerce atau berjualan melalui siaran langsung di platform tersebut, dan mengarahkan konsumen secara mulus ke Tokopedia untuk pembelian.
Jika Tokopedia menjadi platform eksklusif untuk pesanan yang dihasilkan dari lalu lintas TikTok, beberapa masalah dapat terselesaikan sekaligus. Misalnya, siaran langsung bukanlah keunggulan Tokopedia, meskipun perusahaan telah meluncurkan fitur Tokopedia Play sejak 2018.
Sebelum TikTok Shop hadir, pedagang harus mengandalkan tautan afiliasi untuk mengarahkan pembeli ke platform lain, seperti Shopee, untuk menyelesaikan transaksi. Membangun platform baru dari nol juga menjadi opsi, tetapi para ahli berpendapat bahwa pendekatan tersebut dapat memberikan keunggulan substansial bagi kompetitor Tokopedia dan TikTok Shop dalam hal waktu dan aset.
Tesar Sandikapura, ketua umum Indonesian Digital Empowerment Community (IDIEC), menyatakan bahwa rencana seperti itu terasa aneh. Ia menambahkan bahwa Tokopedia dan TikTok Shop memiliki merek yang dikenal luas, sehingga memperkenalkan aplikasi baru dengan nama berbeda dapat mengurangi daya tarik kolaborasi ini. Roshan Raj, partner dari Redseer Strategy Consultant, menambahkan bahwa mengelola dua merek bisa menjadi sulit bagi Tokopedia dan berpotensi menyebabkan “ketegangan internal dan kebingungan eksternal” jika tidak ditangani dengan baik.
Sisi Manakah yang Lebih Berkuasa?
Selain memanfaatkan kemampuan live streaming TikTok, Tokopedia juga dapat meningkatkan penjualan di kategori dengan nilai pesanan rata-rata yang rendah, terutama kategori fesyen dan kecantikan, di mana perusahaan ini biasanya tertinggal di belakang kompetitor. Di sisi lain, Tokopedia mendominasi segmen yang lebih premium, sementara Shopee dan Lazada lebih kuat di segmen menengah dan ke bawah. Segmen TikTok Shop memiliki kemiripan dengan kedua perusahaan terakhir.
Sementara itu, TikTok dapat memanfaatkan infrastruktur e-commerce andal milik Tokopedia, termasuk logistik, gerbang pembayaran, dan layanan kredit buy now pay later. Namun, pertanyaannya adalah apakah strategi ini akan berkelanjutan dalam jangka panjang.
Sejak memasuki Asia Tenggara pada 2021, TikTok Shop telah menjadi pesaing yang tangguh, mencatatkan GMV senilai US$4,4 miliar (Rp68,5 triliun) pada 2022, meningkat 363 persen dari tahun sebelumnya. Pertumbuhan pesat ini membuat beberapa ahli yakin bahwa kemitraan dengan Tokopedia mungkin hanya solusi sementara, dan TikTok akan lebih diuntungkan dengan membangun infrastruktur e-commerce miliknya sendiri.
Nailul Huda, direktur ekonomi digital di Center of Economic and Law Studies (CELIOS) di Jakarta, menekankan bahwa TikTok perlu membangkitkan dan mempertahankan perilaku belanja impulsif yang erat kaitannya dengan fitur e-commerce miliknya. TikTok belum mengajukan izin e-commerce di Indonesia, di mana perusahaan harus mendirikan entitas terpisah dan mendapatkan izin untuk mengoperasikan TikTok Shop secara independen, terpisah dari aplikasi media sosialnya.
Kerja sama dengan Tokopedia dapat memberikan TikTok lebih banyak waktu untuk mengamankan izin yang diperlukan, kata Sandikapura dari IDIEC. Namun, ia memprediksi bahwa TikTok tidak akan mengakhiri kerja sama tersebut, bahkan ketika perusahaan ingin mendirikan entitas baru untuk bisnis e-commerce miliknya. Sandikapura yakin bahwa TikTok dapat menjalankan lengan e-commerce sendiri dan tetap menjaga hubungan dengan Tokopedia, memungkinkan keduanya terus memanfaatkan kekuatan satu sama lain.
Ahli ekonomi digital Ignatius Untung juga berpendapat bahwa TikTok tidak akan menjalin kesepakatan serupa dengan pesaing lokal di pasar lain. Perusahaan tidak memiliki insentif untuk melakukan hal tersebut, setidaknya untuk saat ini. Meskipun pemerintah di beberapa negara seperti Malaysia, Thailand, dan Filipina telah membahas kemungkinan mengatur platform tersebut, tidak ada negara yang kemungkinan akan memberlakukan larangan sepenuhnya seperti yang terjadi di Indonesia dalam waktu dekat.