Sebagai pekerja, kamu mungkin pernah bergumam, mengapa jam kerja harus delapan jam per hari sih? Kamu tidaklah sendirian, karena sebagian besar profesional di seluruh dunia juga menjalani standar jam kerja yang sebenarnya telah berlangsung lebih dari satu abad ini.
Asal muasal jumlah jam kerja delapan jam per hari berawal dari era revolusi industri, saat belum ada standar yang jelas bagi pekerja. Setiap pekerja umumnya bekerja selama 10 hingga 18 jam setiap hari. Pada tahun 1791, para pekerja di Philadelphia meminta kepada para pemilik usaha untuk melakukan standardisasi jam kerja karyawan menjadi sepuluh jam per hari.
Ide penetapan jam kerja ini juga pernah diungkap oleh Robert Owen, seorang sosialis dari Inggris yang mencetuskan istilah “delapan jam bekerja, delapan jam rekreasi, delapan jam istirahat”. Sayangnya deretan aksi untuk meregulasi ulang kebijakan jam kerja ini tidak membuahkan hasil.
Hingga akhirnya pada tahun 1905 ketika Henry Ford, pemilik Ford Motor Company, mulai mengimplementasikan delapan jam kerja per hari di perusahaannya. Tidak hanya itu, Henry Ford juga menaikkan bayaran para pekerjanya dua kali lipat yang berdampak kepada peningkatan produktivitas pekerja secara drastis.
Melihat keberhasilan Henry Ford, perusahaan lain terinspirasi untuk melakukan hal serupa. Mereka mengaplikasikan delapan jam kerja untuk para karyawan di perusahaan masing-masing.
Kebijakan ini baru mendapatkan legitimasinya pada tahun 1937, ketika delapan jam kerja menjadi standar yang ditetapkan oleh pemerintah Amerika Serikat melalui Fair Labor Standards Act. Kebijakan tersebut masih menjadi acuan para perusahaan hingga sekarang.
Daftar Isi
Apakah delapan jam bekerja terbukti efektif?
Alasan dari mengapa kita bekerja selama delapan jam sehari tidaklah berdasarkan penelitian ilmiah, tetapi dari praktik industri yang telah berjalan selama lebih dari satu abad. Sistem delapan jam kerja ini belakangan sudah terasa tidak relevan di industri kreatif yang para pelakunya sering bekerja hingga larut malam.
Tidak semua perusahaan menerapkan kebijakan kerja delapan jam per hari. Sebagai contoh, Tech in Asia Indonesia tidak menghitung berapa lama karyawannya ada di kantor atau bekerja dalam sehari. Selama penugasan yang diberikan dapat selesai dalam waktu yang ditentukan, sang karyawan bebas untuk mengerjakannya kapan saja, di mana saja.
Terdengar menyenangkan? Namun di balik semua itu, tetap ada tanggung jawab besar yang harus diemban.
Dalam menyelesaikan pekerjaan, sebagian karyawan di Tech in Asia Indonesia ada yang memilih untuk bekerja dari pagi hingga sore hari. Ada juga yang mulai bekerja dari siang hingga larut malam. Tidak ada yang salah dengan hal ini, sebab tingkat energi seseorang berbeda antara satu dengan yang lainnya.
Tidak ada batasan jam kerja tertentu untuk para karyawan Tech in Asia Indonesia. Yang terpenting adalah kualitas kerja, produktivitas, dan kesehatan dari setiap anggota.
Atur energimu, bukan waktumu
Tony Schwartz dalam sebuah artikelnya di Huffington Post pernah menyatakan, “Atur energimu, bukan waktumu.” Hal ini seakan menegaskan bahwa yang harus jadi sorotan utama dari para pekerja adalah energi yang mereka miliki, bukan jam kerja yang dialokasikan untuk mereka.
Schwartz menjelaskan bahwa kita harus mampu untuk mengatur empat tipe dari energi berikut setiap hari:
- Energi fisik – Seberapa sehat diri kamu?
- Energi emosional – Seberapa bahagia diri kamu?
- Energi mental – Seberapa baik kamu dapat fokus terhadap sesuatu?
- Energi spiritual – Mengapa kamu melakukan pekerjaanmu? Apa yang menjadi tujuan utamamu?
Perlu diingat, tidak seperti mesin yang bekerja tanpa mengenal lelah, manusia bekerja dengan siklus tersendiri yang mengharuskannya bekerja dan beristirahat. Karenanya, pengaturan energi adalah hal yang sangat penting apabila kamu ingin mendapatkan hasil yang optimal.
Leo Widrich dari Buffer menjelaskan bahwa otak manusia hanya dapat fokus bekerja selama 90 hingga 120 menit, sebelum membutuhkan istirahat selama 20 hingga 30 menit untuk kembali mencapai kinerja optimal. Fenomena ini dinamakan Ultradian Rhythm, sebuah siklus unik yang hadir baik pada waktu kita bekerja ataupun waktu kita tidur.
Konsep Ultradian Rhythm pertama kali dicetuskan oleh Nathaniel Kleitman, seorang peneliti tidur. Ia menyebutnya sebagai “siklus dasar aktivitas-istirahat” (basic rest-activity cycle). Siklus ini berdurasi selama sembilan puluh menit yang terbagi menjadi lima tahapan tidur. Selain ditemukan dalam pola tidur seseorang, siklus ini juga berlaku pada keseharian kita.
Dengan mengikuti teori ini, daripada kamu mengkhawatirkan tentang apa yang dapat kamu lakukan dalam satu bulan, satu minggu, atau satu hari, mengapa tidak memecah penugasan tersebut menjadi bagian yang lebih kecil? Kamu bisa bertanya kepada diri sendiri, apa yang dapat saya kerjakan dalam waktu sembilan puluh menit?
Dengan memahami pola kerja dan optimalisasi otak, kamu akan menemukan tempo kerjamu sendiri, terlepas dari jam kerja yang dialokasikan oleh perusahaan. Buat setiap energi yang kamu gunakan menjadi efektif, ketimbang hanya menghabiskan waktu kerja dengan hasil yang kurang optimal.
Jam kerja tidak menentukan produktivitas
Lama waktu kerja yang dihabiskan di kantor tak selalu berbanding lurus dengan produktivitas. Seorang yang berhasil mengatur fokusnya terhadap sebuah penugasan adalah seseorang yang produktif.
Riset yang dilakukan oleh Justin L. Gardner, seorang peneliti dari Stanford University, menyimpulkan bahwa otak manusia akan lebih optimal apabila digunakan untuk menyelesaikan tugas satu per satu, tidak secara bersamaan. Yang terbaik adalah dengan melakukan penentuan prioritas dan menyelesaikan pekerjaan secara berurutan.
Menurut Hendri Salim, CEO Tech in Asia Indonesia, tujuan utama dari produktivitas bukanlah mengerjakan semua tugas yang diserahkan. Orang yang produktif adalah insan yang mampu menyelesaikan hal-hal paling penting sembari menjaga energi, fokus, dan waktu dengan tetap prima.
Tip menjaga produktivitas agar tetap tinggi
Untuk memiliki tingkat fokus yang tinggi, kamu dapat mencoba melakukan beberapa hal berikut ini:
- Hilangkan semua pengganggu. Apabila kamu telah siap untuk mengerjakan tugas yang menjadi prioritas, hilangkan sementara seluruh hal yang berpotensi menganggu, seperti dering smartphone, notifikasi email, aplikasi chatting, hingga tampilan layanan media sosial.
Kamu juga dapat memasang headphone sebelum memulai bekerja. Ini dapat dianggap sebagai sebuah tanda “jangan ganggu” bagi kolega kamu, yang semoga akan membuat mereka meninggalkan pesan untuk kamu cek setelah pekerjaanmu selesai.
- Hindari multitasking. Multitasking hanya akan membuat pekerjaanmu tidak optimal. Karenanya, mulailah menyelesaikan segala sesuatu satu per satu.
Atur prioritas yang akan kamu kerjakan pada awal hari dan fokus terhadap hal tersebut. Apabila ada penugasan baru, ukur prioritasnya dan masukkan di daftar tugas yang akan kamu selesaikan. Yang terpenting adalah kamu harus bertanggung jawab atas apa yang telah kamu rencanakan.
- Meditasi. Terlalu banyak hal yang kamu pikirkan juga akan mengganggu fokus ketika sedang menyelesaikan sebuah pekerjaan. Meditasi akan membantu kamu untuk meredakan ketegangan di otak, yang akan mempermudahmu untuk kembali fokus.
- Melakukan teknik Pomodoro. Teknik ini mengharuskan kita untuk bekerja selama 25 menit dan kemudian mengambil istirahat selama 5 menit. Inti dari teknik ini adalah untuk membiasakan otak untuk bekerja cepat dengan reward yang cepat juga.
- Utamakan hal yang menjadi prioritas. Ketika menyusun daftar penugasan pada awal hari, pastikan kembali yang akan kamu kerjakan itu adalah pekerjaan yang memang benar-benar memiliki prioritas paling tinggi. Selain kamu akan membuang waktu, kamu juga tidak akan berhasil untuk menciptakan sense of accomplishment ketika hanya mengerjakan hal-hal yang kurang penting.
Sumber : TIA