Apa trik jitu menulis konten yang bagus? Jika kamu menjawab tata bahasa atau struktur kalimat, maka kamu keliru.
Konten yang bagus biasanya dibentuk oleh gaya bahasa khas (tone of voice)dan isyarat kecil yang diselipkan di tiap post yang kita buat.
Pernahkah kamu memperhatikan bagaimana YouTuber atau bloger terkenal cenderung menggunakan salam, intro, atau ciri khas tertentu saat bicara? Ini adalah contoh isyarat yang bisa membuat brand kamu mudah diingat. Isyarat ini juga yang akan membentuk identitas unikmu.
Lalu, kenapa mempunyai brand voice yang berbeda dan khas itu penting?
Membangun kepercayaan
Kita cenderung memercayai orang yang akrab dengan kita. Sama halnya dengan konten, brand voice yang mudah diingat akan membantu kita mempertahankan pelanggan dan membuat mereka merasa nyaman.
Membuat brand kamu menonjol
Kita semua memiliki idiom favorit, ekspresi, dan nada suara khas. Ini membuat kita mudah dikenali oleh teman-teman. Cara inilah yang perlu kita gunakan untuk menarik perhatian pembaca di era modern yang serbasibuk ini.
Membantu brand memengaruhi pelanggan
Kita cenderung lebih percaya pada orang-orang yang kita suka dan akrab dengan kita. Kita mungkin tidak selalu ingat apa yang mereka katakan, tapi kita ingat bagaimana perasaan kita saat mendengar perkataan mereka.
Pelanggan kita bisa lebih sensitif terhadap satu gaya bahasa tertentu dibanding yang lain. Hal ini terutama berlaku bagi kelompok konsumen millennial. Generasi millennial lebih cepat memahami atau merasa terhubung dengan orang yang mereka mungkin tidak tahu secara pribadi seperti bloger dan online influencer.
Berikut adalah contoh sederhana bagaimana satu permintaan sederhana dapat memicu emosi yang berbeda:
- Apakah Anda keberatan meminjamkan sebuah pena kepada saya?
- Bro, pulpen dong!
- Woi, punya pulpen buat dipinjem nggak?
Dari tiga contoh tersebut, kita bisa membayangkan kepribadian orang yang sama sekali berbeda. Mereka mengucapkannya dengan aksen, nada suara, dan ekspresi wajah yang berbeda.
Hal yang sama juga terjadi pada konten online yang kita buat.
Apakah kamu ingin menulis konten yang bagus? Apakah brand kamu ingin dikenal dengan kepribadian yang berbeda, mudah diingat, dan memiliki ikatan kuat dengan pelanggan?
Jika iya, kamu perlu menjabarkan dan mengasah brand voice milikmu.
Beberapa pertanyaan untuk menemukan brand voice
Apa nilai perusahaanmu?
Selain mendapatkan keuntungan, apa alasanmu mendirikan bisnis? Apakah kamu ingin menawarkan cara praktis berbelanja online? Apakah kamu ingin mengusulkan alternatif membeli harga hotel yang lebih murah? Apakah kamu peduli terhadap sektor kesehatan?
Buatlah ringkasan tujuan dan misimu dalam satu baris atau kalimat — dan ini mungkin membutuhkan banyak latihan.
Berikut adalah beberapa contohnya.
Airbnb memiliki tag line “Belong Anywhere.” Sebaliknya, Pat Flynn ingin menunjukkan bagaimana setiap orang bisa pensiun dini dan hidup nyaman tanpa memperbudak diri untuk sebuah perusahaan. Ramit Sethi ingin menunjukkan cara untuk hidup lebih kaya baik secara finansial maupun psikologis. Sementara saya ingin membantu orang-orang menulis blog dan membuat perubahan dengan mudah.
Kenapa orang mengunjungi situsmu?
Apakah karena mereka ingin belajar? Apakah karena mereka ingin membuat sebuah keputusan penting atau hanya karena ingin bersenang-senang? Kenapa mereka memilihmu?
Kamu harus menyesuaikan brand voice berdasarkan tujuan pelanggan mengunjungi situsmu.
Menyisipkan lelucon dan metafora cerdas saat menulis konten B2B untuk para eksekutif memang boleh-boleh saja, tapi menggunakan terlalu banyak bahasa gaul atau terlalu santai mungkin malah mematikan peluang. Namun, hal yang sebaliknya justru berlaku bagi konten B2C di ranah hiburan. Brand kamu mungkin akan diledek dengan meme ”why so serious?”jika terlalu membosankan.
Siapa pelangganmu?
Memiliki profil rinci pelanggan tidak hanya penting untuk pemasaran dan penjualan, tetapi juga untuk copywriting. Bicaralah pada pelangganmu dengan gaya bahasa yang mereka gunakan dan bangunlah image sebagai seseorang yang berpotensi menjadi teman mereka.
Untuk mencapai ini, kamu perlu menggambarkan potret rinci yang mencakup setidaknya data-data berikut:
- Demografi (Usia, Jenis Kelamin, Lokasi, Pendidikan, Keluarga)
- Tujuan dan tantangan hidup
- Nilai [yang dijunjung] dan ketakutan [pelanggan]
Untuk membentuk brand voice yang kuat, kamu harus paham bahwa kamu berbicara kepada orang yang sangat spesifik, bukan hanya kepada “target pelanggan” yang samar-samar.
Sebut saja Jill.
Jill (26 tahun) adalah seorang Manajer Marketing di sebuah perusahaan makanan besar di New York. Ia memperoleh gaji sebesar US$80.000 (sekitar Rp1,04 miliar) per tahun, menempati sebuah apartemen di Manhattan dengan dua orang temannya, mempunyai seorang pacar, dan mempunyai keluarga yang tinggal di Ohio.
Jill adalah seorang yang terbuka dan suka pergi ke tempat dan acara baru setiap hari Jumat dan Sabtu bersama teman dan koleganya. Biasanya, Jill akan menghabiskan US$50 (sekitar Rp650.000) per malam. Ia suka menghadiri acara stand-up comedy, pagelaran teater indie, dan mengunjungi bar berkonsep unik. Jill juga rela untuk menempuh perjalanan selama 30 hingga 45 menit untuk menyambangi tempat yang terdengar menarik.
Jill takut disebut kudet atau kurang update sehingga ia selalu mengandalkan internet untuk menemukan acara yang sedang tren dan mengajak teman-temannya ke sana. Ia ingin dilihat sebagai seorang wanita yang mempunyai selera bagus dan yang menghubungkan setiap orang di kelompoknya.
Kini, konten kamu harus ditulis sedemikian rupa agar mampu menarik perhatian Jill– pengguna aktif produkmu.
Jika brand kamu adalah orang, bagaimana kamu mendeskripsikannya?
Sekarang kamu perlu membuat sebuah cerita yang berlawanan untuk brand kamu. Apakah brand kamu adalah teman atau mentor Jill yang ia kagumi? Bagaimana hal ini berhubungan dengan nilai-nilai perusahaan yang ingin kamu sampaikan?
Berikut adalah formula bagus untuk membantumu membuat brand voice yang kuat. Formula ini tidak hanya berlaku di ranah media sosial.
Tergantung di channel apa kamu menulis, kamu perlu menyuarakan brand kamu dengan tepat. Hindari melompat dari satu ujung spektrum ke ujung spektrum yang lain. Misalnya, konten kamu terdengar sangat profesional dan serius di blog , maka jangan terdengar gila atau super santai di media sosial.
Inkonsistensi adalah musuh bebuyutan untuk brand voice.
[tia/ap]