Hanifa Ambadar, adalah Founder dan CEO dari Female Daily yang sela-sela kesibukannya, ibu dua anak yang sudah mulai aktif blogging dari tahun 1999 ini bersedia kami “curi” waktunya untuk mengobrol tentang perempuan dan dunia teknologi.
Jumlah perempuan di ranah teknologi memang tak sebanyak kaum adam. Jadi, jangan terkejut bila kamu mengunjungi acara-acara teknologi dan menemukan perempuan dalam jumlah “langka”. Ini sudah menjadi pemandangan biasa. Bahkan, menurut salah satu artikel Tech Crunch, keberadaan perempuan di industri teknologi hanya 26 persen.
“Dulu Female Daily bercita-cita untuk punya pegawai perempuan saja. Tapi ternyata susah juga cari perempuan untuk posisi IT. Jadi akhirnya kita hire laki-laki juga,” cerita Hanifa.
Hanifa menambahkan, jumlah perempuan yang berkarier di ranah teknologi semakin bertambah, meski belum ada perubahan yang signifikan. Perlahan tapi pasti, wajah-wajah baru perempuan kian bermunculan di ranah startup dan teknologi.
Kira-kira, apa saja yang menjadi tantangan bagi perempuan untuk berkarier di bidang teknologi? Apa saja dukungan yang perlu diberikan bagi mereka?
Perempuan perlu fleksibilitas
Kalau kamu bekerja di Female Daily Network, siap-siap saja jatah cuti kamu tersisa banyak. Rata-rata masa libur di kantor ini memang cukup panjang. Bahkan libur tahun baru saja bisa mencapai sepuluh hari. Hanifa menjelaskan, hal ini dilakukan agar para karyawannya (yang sebagian besar wanita) memiliki waktu lebih banyak bersama keluarga.
“Dari beberapa survei, yang penting bagi perempuan itu bukan gaji, tapi fleksibilitas. Jadi, kalau bisa diberikan oleh perusahaan, hal itu akan sangat membantu wanita,” Hanifa menjelaskan.
Fleksibilitas untuk perempuan yang dimaksud bukan pekerjaan yang santai. Akan tetapi, lebih kepada tempat dan waktu bekerja. Karyawati tak perlu menghabiskan waktu delapan jam di kantor. Ia juga bisa bekerja dari rumah sembari mengurus keluarga.
Hanifa paham betul bahwa perempuan juga identik dengan perannya sebagai seorang ibu. Itu sebabnya, ia membuat suasana kantor Female Daily begitu homey. Sehingga, para karyawan bisa mengajak anak-anak mereka ke kantor, melihat bagaimana orang tuanya bekerja.
Cara ini juga bisa digunakan untuk memperkenalkan anak-anak sejak dini tentang dunia startup. Ini bisa menjadi bekal mereka saat berkarier di masa depan.
Gaptek? Kurang role model? “Gas” terus?
Menurut Hanifa, sejumlah tantangan juga dihadapi wanita dalam berkarier di industri teknologi. Anggapan bahwa perempuan itu gaptek, tak paham soal teknologi, ternyata masih begitu lekat dengan wanita. Anggapan ini membuat perempuan tidak nyaman bekerja di industri teknologi. Kaum pria pun tampaknya ragu memberikan kesempatan tersebut bagi perempuan.
Selain itu, jumlah perempuan di ranah teknologi yang sedikit akhirnya berujung pada kurangnya sosok panutan (role model). Hal ini dapat membatasi perempuan untuk berkembang, karena tidak memiliki bayangan seberapa jauh mereka dapat berkembang di bidang teknologi.
Tantangan selanjutnya adalah “hak istimewa” perempuan yang membuat mereka cukup memerlukan fleksibilitas.
“Perempuan, terutama yang sudah punya anak, kadang-kadang nggak bisa ‘gas pol’ terus-terusan. Ada saatnya harus ‘ngerem’. Misalnya, saat sedang hamil dan melahirkan, ya maunggak mau kan harus cuti melahirkan. Jadi tidak seperti laki-laki, perempuan harus bisa membatasi dan terkadang harus memprioritaskan keluarga,” jelas Hanifa.
Berikan kesempatan
Untuk mendukung perempuan di ranah teknologi, menurut Hanifa ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Selain memberikan fleksibilitas, perempuan juga perlu kesempatan. Hal ini tentu menjadi catatan bagi perusahaan agar memberi lebih banyak ruang agar perempuan dapat berkarya.
Untuk jangka panjang, Hanifa juga mengajak kita—termasuk kamu, yang sudah mencicipi rasanya bekerja di industri teknologi— untuk tidak membatasi adik maupun anak-anak kamu untuk berkarier. Bukan dengan stereotipe pekerjaan: bidang A hanya untuk laki-laki, dan bidang B hanyak untuk perempuan. Cobalah berikan mereka gambaran tentang potensi teknologi untuk karier mereka.
“Bagaimana teknologi bisa mengubah dunia, bagaimana teknologi bisa membuat kehidupan manusia lebih mudah. Jadi, mulailah perkenalkan mereka dengan dunia teknologi sejak dini,” ujar Hanifa.
Saling mendukung adalah kuncinya
Hanifa juga menambahkan, sektor teknologi perlu lebih banyak perempuan, terutama untuk bisnis yang menyasar kaum hawa. Karena, tak bisa dipungkiri, perempuanlah yang lebih memahami apa yang mereka butuhkan.
Menurut Hanifa, “Walaupun ada yang khusus untuk laki-laki, tapi bisnis apapun pada umumnya, pasti setengah khalayaknya adalah perempuan. Dan produk yang bagus adalah produk yang dibangun bukan oleh gender tertentu, karena mereka (perempuan dan laki-laki) bisa menambah keberagaman sudut padang dan dapat menghasilkan produk yang sempurna.”
Supaya para perempuan dapat lebih berani lagi untuk berkarier di industri teknologi, Hanifa juga mengingatkan pentingnya para perempuan di ranah teknologi untuk saling bertemu, mendukung eksistensi sesama perempuan, dan saling belajar dari pengalaman-pengalaman sesama perempuan di dunia tech startup.
“Perempuan di teknologi itu minoritas. Berjalan sendirian tentu akan akan sangat “sunyi”. Akan sangat bagus kalau kita bisa membangun komunitas dan saling mendukung,” pungkas Hanifa.
Jadi, adakah para perempuan di ranah teknologi yang sedang membaca artikel ini? Apakah kamu mau belajar dan mendukung perempuan lainnya di ranah teknologi? Sebagai bentuk dukungan kami untuk para srikandi teknologi, kami mengundang para perempuan untuk menghadiri Tech in Asia Jakarta 2016 pada tanggal 16 dan 17 November dengan memberikan Women in Tech Pass. Gratis!
Segera daftarkan dirimu di tautan tersebut dan bergabunglah dengan ratusan figur perempuan lainnya di ranah teknologi. Kamu bukan perempuan tapi ingin datang ke konferensi Tech in Asia Jakarta 2016? Dapatkan diskon 15 persen untuk semua jenis tiket dengan kode tiajkt15 di tautan ini!