Saya merasa diri saya cukup beruntung karena dikelilingi oleh banyak orang hebat. Mulai dari para pejuang yang berusaha membangun usaha dan produk sendiri demi kemudahan atau memberikan hiburan bagi khalayak ramai, sampai ke orang-orang yang menjadi bagian dari sebuah tim dan rela mengorbankan waktu pribadi mereka demi mewujudkan kemudahan dan hiburan tersebut.
Orang-orang tersebut rela kerja lembur, kerja di hari libur, dan mengorbankan waktu bersama kerabat mereka demi menghasilkan produk dan jasa berkualitas. Hal ini cukup lumrah terjadi, apalagi zaman sekarang kita bisa melakukan pekerjaan hampir di mana saja dan kapan saja, asal ada listrik dan internet.
Sudah menjadi pemandangan umum kalau kita pergi ke kafe di akhir pekan dan pengunjungnya tampak begitu fokus dalam aktivitas produktif mereka. Ada anak-anak muda berdiskusi tentang startup yang akan mereka bangun, bloger yang berusaha menyampaikan pikiran dan berharap bisa menginspirasi orang, atau bahkan pertemuan bisnis bernilai jutaan atau miliaran yang berlangsung di tengah keramaian.
Semua pekerjaan yang berlangsung di akhir pekan atau luar jam kerja ini jelas merupakan hal positif yang bisa menjadi bukti kalau kita memiliki etos kerja baik.
Namun sayangnya, tidak jarang kerja lembur ini menjadi sesuatu yang seakan-akan begitu membanggakan, menjadi sesuatu yang perlu dipamerkan. Atau, lebih buruk lagi, menjadi alasan untuk mendiskreditkan orang lain yang memilih untuk menghabiskan waktu di luar jam kerja untuk keluarga, kerabat, atau diri sendiri.
Lembur bukan berarti rajin
Banyak yang menganggap kalau orang yang hobi lembur dan bekerja di akhir pekan adalah orang yang rajin. Bahasa kerennya itu workaholic. Nyatanya hal tersebut belum tentu benar.
Bekerja di luar jam kerja bisa disebabkan banyak alasan. Bisa jadi karena tenggat waktu mendesak yang membuat kita harus berkorban. Tapi banyak juga yang sebenarnya terjadi karena kelalaian kita sendiri.
Tanpa harus menunjuk ke orang lain, saya coba ambil contoh diri sendiri. Saya termasuk orang yang sering bekerja di akhir pekan. Biasanya waktu luang ini saya gunakan untuk melakukan tugas yang tidak berhubungan dengan pekerjaan penuh waktu. Jadi saya lebih sering fokus ke menulis untuk blog pribadi, mencoba iseng membuat situs game sendiri, atau iseng-iseng memikirkan ide game yang bisa saya ajukan ke tim.
Tapi terkadang saya juga menghabiskan akhir pekan untuk menyelesaikan tugas yang harusnya rampung di hari kerja. Saat ini terjadi, tidak sulit untuk melihat bahwa perkerjaan tersebut bisa diselesaikan selama 40 jam kerja resmi saya.
Namun tentu saja menggunakan satu hari dengan maksimal tanpa aksi tidak produktif sama sekali adalah mustahil. Jadi, pulang malam dan kerja lembur di akhir pekan sesungguhnya bukanlah bukti kalau saya orang yang rajin, tapi lebih menunjukkan ketidakmampuan saya untuk bekerja tepat waktu.
Dan saya yakin saya bukanlah satu-satunya orang yang melakukan ini.
Karena hidup cuma sekali
Ada masalah lain yang lebih krusial mengapa saya tidak setuju dengan golongan yang begitu membanggakan status workaholic. Memang bagus kalau energi dan waktu yang kita miliki disalurkan untuk pekerjaan yang positif. Tapi kita tahu kalau yang segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik, termasuk kerja yang berlebihan.
Ketika kamu menghabiskan waktu untuk bekerja di waktu yang seharusnya menjadi waktu senggang, banyak hal di sekitar yang dapat terlewatkan begitu saja. Hal ini akan semakin terasa jika kamu sudah berkeluarga. Rasanya tidak perlu saya bahas bagian ini panjang-panjang mengingat sudah banyak sekali contoh media fiksi atau nonfiksi yang membahas tentang kasus ini.
Saya sendiri mengenal beberapa orang yang telah berpengalaman dengan mendirikan usahanya sendiri. Ketika mereka masih lebih muda, tampak semangat yang begitu berkobar, sehingga rela kerja lembur di akhir pekan bahkan mengobarkan waktu tidur.
Tidak jarang nada sinis terdengar saat saya bercerita bahwa saya tidur enam sampai delapan jam sehari. Tapi begitu saya bercerita kalau saya tidur hanya sekitar lima jam sehari, rasanya seperti dapat pengakuan khusus dari kawan-kawan workaholic ini.
Namun, ketika kami mengobrol kembali setelah melalui banyak fase dalam hidup, saya malah mendapatkan saran yang berbeda dari beberapa teman saya ini.
Yang dulunya bangga bercerita soal kerja lembur akhir pekan malah jadi lebih rajin mengingatkan untuk jangan lupa libur dan berkumpul dengan keluarga. Yang tadinya menjadikan jam tidur kurang sebagai kelebihan, kini malah mengingatkan teman-temannya untuk selalu istirahat yang cukup.
Mungkin saja kawan-kawan saya ini telah melalui fase yang membuat mereka berubah. Bisa jadi bisnis atau startup mereka sudah lebih stabil, kesadaran untuk menjadi anggota keluarga yang baik, atau diingatkan langsung soal pentingnya istirahat melalui pengalaman yang tidak mengenakkan.
Kerja lembur tak sepenuhnya salah
Tulisan saya ini tidak bermaksud untuk menyindir orang-orang yang memang hobi berkarya, apalagi meremehkan orang yang memang perlu kerja lembur lebih demi hidup.
Saya lebih menujukannya kepada golongan yang memang suka menghabiskan banyak waktu bekerja, tapi di saat yang bersamaan memandang sebelah mata orang lain yang ingin punya hidup lebih seimbang. Apalagi kalau yang dilakukan hanyalah mengaku hobi bekerja, sambil bercanda soal orang yang tidak workaholic seperti dirinya.
Intinya, bekerja semaksimal mungkin jelas tidak dilarang, toh bekerja itu ibadah, baik untuk dunia maupun akhirat. Tapi selalu ingat hal berikut:
- Apa alasanmu harus bekerja di luar jamnya? Kalau karena kamu tidak memanfaatkan jam kerja dengan baik, cobalah interospeksi.
- Jangan lupakan orang sekitarmu. Ingat untuk terus memperhatikan keluarga dan juga mempertahankan tali silaturahmi dengan saudara atau sahabat.
- Paling penting, jaga kesehatan diri sendiri.
Semoga artikel ini bermanfaat. [tia/ap]