Pada Maret 2017 lalu, TechCrunch sempat melaporkan info dari sumber-sumber yang tak disebutkan bahwa Amazon menunda rencana penetrasinya ke pasar ecommerce Asia Tenggara. Meski kita tidak tahu siapa sumber yang dimaksud, ketiadaan bukti substansial dari perusahaan raksasa tersebut akan memasuki Singapura bisa jadi tanda bahwa rencana penetrasi itu mungkin tidak akan pernah terwujud.
Rencana untuk masuk ke Singapura ini tidak masuk akal, mengingat strategi pasar Amazon di masa lalu ataupun masa sekarang. Inilah analisis saya.
Taktik gerilya vs konvensional
Seperti Goliath sang raksasa, Amazon bisa beraksi dengan paling baik pada “medan terbuka”, di mana mereka bisa memanfaatkan kemampuan peningkatan skala bisnis sebagai keuntungan. Coba perhatikan pasar-pasar tempat Amazon mendominasi persaingan saat ini: Amerika Serikat, Jepang, Inggris, Jerman, Perancis, dan India yang tengah tumbuh.
Amazon masuk ke Asia Tenggara itu ibarat tentara Amerika Serikat saat sedang perang Vietnam. Mereka akan melawan musuh yang tersebar di berbagai negara, terpisah oleh perairan, dan lebih berpengalaman dalam medan lokal. Coba tempatkan beberapa eksekutif Amazon dari Seattle ke hutan beton Jakarta, dan suruh mereka menelusuri layanan logistik di tengah kemacetannya yang legendaris. Bisa jadi mereka akan merengek minta pulang.
Coba saja lihat benua Eropa. Meskipun masih tergabung dalam kesatuan Uni Eropa, benua ini sebenarnya merupakan sekumpulan negara-negara terpisah. Penetrasi Amazon ke Eropa akhirnya hanya berhasil di tiga pasar utama—Inggris, Jerman, dan Perancis.
Cina tampaknya merupakan pengecualian, meski memiliki bentuk pasar tunggal raksasa seperti di Amerika Serikat. Pangsa pasar Amazon di sana telah anjlok dari lima belas persen di tahun 2008 menjadi tinggai dua persen saja. Proses pengambilan keputusan yang terpusat di Amerika Serikat membuat operasi Amazon di Cina lambat, sehingga gagal bersaing dengan kompetitor lain yang lebih gencar.
Pada akhirnya, Amazon di Cina kalah melawan Alibaba milik Jack Ma dan JD milik Liu Qiangdong. Mereka pun harus menyerah dan menumpang buka toko di Tmall (mal virtual milik Alibaba) pada tahun 2015.
Di Timur Tengah, Amazon sedang terlibat pertarungan lelang yang sengit melawan pengusaha kaya asal Uni Emirat Arab, Mohamed Alabbar, untuk membeli Souq.com. Souq beroperasi di sepanjang negara-negara anggota Dewan Kerja Sama Teluk Arab yang semuanya terhubung oleh daratan dan bebas bea cukai. Ini bisa memberikan Amazon akses terhadap 50 juta orang yang berbicara dalam satu bahasa, dan cocok dengan strategi mereka mengincar pasar tunggal besar.
Singapura bukanlah titik operasi vital bagi Amazon
Rumor penetrasi Amazon ke Asia Tenggara banyak berkisar pada rencana untuk membuka lapak di Singapura terlebih dahulu. Meskipun kecil, negara tersebut bisa disebut sebagai pasar ecommerce paling dewasa di daerahnya.
Sebelum Lazada mengakuisisi Redmart dengan harga US$30-40 juta (sekitar Rp400-533 miliar), sempat ada kabar tentang Amazon yang berusaha membeli Redmart untuk mempercepat operasi mereka di Singapura. Tapi tidak masuk akal bagi Amazon untuk membuka operasi retail lokal di Singapura. Pasalnya, para penduduk Singapura sudah banyak berbelanja di Amazon berkat adanya Goods and Service Tax Relief (penghapusan pajak untuk barang belanjaan) dan logistik global yang efisien.
Amazon dan Singpost tengah mendorong peningkatan logistik lintas negara untuk mengirim paket dari Amerika Serikat ke Singapura dalam waktu tiga hari menggunakan pengiriman prioritas, yang setara dengan waktu rata-rata untuk pengiriman barang domestik di Indonesia. Di masa depan, waktu antar ini bisa semakin singkat lagi setelah Amazon berhasil meningkatkan jumlah armada pesawatnya.
Jadi bisakah Singapura menjadi pusat distribusi untuk ekspansi ke Asia Tenggara? Mungkin tidak. Ada alasan kuat mengapa Jack Ma mendirikan pusat Asia Tenggara miliknya di Digital Free Trade Zone Malaysia, bukan di Singapura:
- Malaysia terhubung ke Thailand lewat daratan, sehingga memberikan akses ke Kamboja, Myanmar, serta Vietnam.
- Malaysia dan Singapura sama-sama dekat dengan Indonesia, yang merupakan pasar terbesar Alibaba/Lazada di Asia Tenggara.
- Malaysia sendiri (dengan populasi 30 juta jiwa) adalah pasar ecommerce yang jauh lebih besar dari Singapura (dengan populasi 5,5 juta jiwa).
- Malaysia memiliki komunitas pendatang Cina yang jauh lebih besar dari Singapura, yang mana mereka menggunakan Tmall, Alibaba, dan AliExpress secara reguler.
- Malaysia adalah kawan politik yang dekat dengan Cina (tidak semua hal, itu murni bisnis).
- Malaysia memiliki ruang fisik yang lebih besar dari Singapura untuk urusan logistik skala besar.
Tapi bukankah Amazon sedang merekrut orang?
Kamu mungkin mendengar kabar dari seseorang yang bekerja dalam bidang ecommerce di Asia Tenggara bahwa mereka menerima telepon dari perekrut Amazon. Ya, Amazon memang sedang membuka lowongan, tapi bukan untuk alasan yang mungkin kamu pikirkan.
Sebagian besar lowongan adalah untuk urusan bisnis lintas negara yang sejak dulu sudah berdiri di Singapura, untuk mengajak para pedagang di Asia Tenggara berjualan di marketplace global Amazon.
Amazon membuka lowongan di Thailand untuk Amazon Global Selling (akuisisi pedagang) dan Amazon Web Services, bukan untuk retail lokal
Indonesia adalah tempat mulai yang baik
Sejalan dengan strategi Amazon untuk masuk ke pasar tunggal yang besar (dengan Australia sebagai pasar terbarunya), penetrasi di Singapura bisa diabaikan. Jika Amazon benar-benar ingin menguasai Asia Tenggara, gerbang yang lebih masuk akal adalah Indonesia. Dengan jumlah populasi 250 juta jiwa (dan terus meningkat), Indonesia adalah “negara Cina baru”, sebuah pusat ekonomi dan ecommerce yang kuat di wilayah berpopulasi 600 juta jiwa.
Meski demikian, kesempatan Amazon masuk ke Indonesia menutup dengan cepat. Dengan sokongan Alibaba, Lazada gencar menanam investasi di pasar terbesar Asia Tenggara ini, sementara raksasa lokal seperti Lippo Group menggelontorkan dana hingga US$500 juta (sekitar Rp6,6 triliun) untuk usaha ecommerce mereka, MatahariMall. JD juga telah menyusup ke Indonesia sejak 2015 dan terus tumbuh dengan kuat. Ini belum termasuk pemain ecommerce veteran seperti Blibli.
Pilihan yang mungkin supaya Amazon bisa masuk Asia Tenggara dengan cepat adalah dengan cara melakukan akuisisi, meskipun akuisisi mereka terhadap Joyo di Cina tidak berhasil baik. Bahkan usaha mereka membeli Souq.com di Timur Tengah pun masih patut dipertanyakan.
Untungnya, ruang ecommerce di Indonesia masih terus berkembang, dan banyak pemain yang tertarik mendapatkan sekutu kuat seperti Amazon. Mari kita lihat saja perkembangannya. [tia/ap]