Beberapa waktu belakangan saya banyak berdiskusi dengan teman-teman pelaku bisnis startup bidang digital agency. Mereka adalah orang-orang muda luar biasa yang percaya penuh pada misi yang mereka emban. Namun saya menemukan satu hal penting yang saya identifikasi dari mayoritas mereka. Nyaris semuanya terlalu fokus pada akuisisi klien. Saya mengkritisi ini dan menawarkan cara pandang lain.
Setiap pelaku digital marketing punya satu tugas utama: mendistribusikan dampak (impact). Menjual, mengakuisisi, meretensi, menciptakan advokasi dan lain-lain hanyalah sebagian tugas. Ketika para programmer menciptakan produk yang dipercaya dapat memberikan dampak, tugas pemasar adalah mendistribusikan dampak itu ke pasar.
Kekuatan dampak yang bisa dihasilkan adalah nilai (value) bagi sebuah bisnis. Dampak hanya bisa lahir ketika ada masalah penting dan krusial yang terselesaikan (solve problem). Penyelesaian masalah ini sangat tergantung dari pendekatan (approachment) yang kita gunakan. Sementara, daya saing kompetitif (competitive advantage) dan nilai preposisi (value proposition) bisnis kita sangat tergantung dari keunikan dan keandalan cara kita menyelesaikan masalah.
Bila cara pendekatan kita dalam menciptakan dampak adalah kekuatan bagi nilai bisnis kita, maka sangat penting untuk menginstitusikannya dan meletakkannya di pintu depan (front door).
Contohnya, bila perusahaan startup kamu adalah digital marketing agency, bagaimana kamu mampu bersaing mengakuisisi klien besar ketika berhadapan dengan Ogilvy & Mather, misalnya?
Paling umum adalah kita menjanjikan bujet lebih rendah dengan objektif return on investment (ROI) yang sama, materi kreatif yang lebih baik, atau channel mix yang lebih luas. Cara ini bermasalah karena hampir setiap pemain di kelas yang sama dengan kita menjanjikan hal yang serupa.
Bila daya saing ditumpukan kepada harga, akan selalu ada pihak yang bisa menyediakan harga lebih rendah. Sementara untuk janji akan kualitas yang bisa kamu deliver adalah sebuah pertaruhan bagi klien, karena hanya bisa dinilai ketika proyek sedang atau selesai berlangsung.
Bagi klien yang hendak mengendalikan risikonya untuk mencapai KPI (key performance indicator) internal, mereka akan lebih memilih menekan risiko itu dengan cara membayar harga lebih tinggi kepada agensi yang high profile.
Di sisi lain, pada arena SEM dan content marketing nama Neil Patel lebih besar ketimbang Ogilvy. Di bidang inbound marketing, Hubspot jagoannya. Atau di media buying ada AppLift. Ini bukan hanya soal ceruk.
Mungkin ada juga yang beranggapan produk Hubspot adalah marketing tool dan Neil Patel tidak melakukan media buying, atau Applift tidak menggarap materi kreatif. Kenyataannya, semua yang disebut di atas menyediakan custom service dan personal touch seperti layaknya digital agency yang menyediakan layanan/ solusi secara holistik untuk mencapai objective klien yang masing-masing unik.
Perbedaannya, mereka menawarkan pendekatan berbeda yang diletakkan di pintu depan, di mana calon klien bisa menguji pendekatan itu tanpa harus terpapar risiko besar atau menjalin komitmen lebih dulu.
Neil Patel contohnya, ia menyediakan tool pengujian SEO gratis di situsnya yang hasilnya akan memberikan rekomendasi optimasi berdasarkan pendekatan unik yang ia gunakan. Bila calon klien menganggap pendekatan yang digunakan Neil layak untuk dicoba, maka barulah dimulai tahap konsultasi dan seterusnya. Beberapa nama besar yang menjadi kliennya adalah Google, Facebook, eBay, AirBnB, sampai Microsoft.
Ini adalah bukti pentingnya penyedia layanan untuk memberikan dan mendemonstrasikan nilainya di awal dengan cara sederhana. Saat ini ketika buyer power sangat tinggi karena melimpahnya pilihan dan terbukanya informasi, janji tidak akan pernah cukup.
Praktik macam ini sebenarnya sudah sangat lama digunakan dalam penjualan tradisional. Penjual buah kaki lima contohnya. Bila kita membeli rambutan, hampir semua penjual mengizinkan kita mencoba terlebih dulu. Bila cara ini diterjemahkan ke dalam marketing funnel atau corong pemasaran, maka strategi penjual buah ini ada di tahap consideration (mempertimbangkan).
Kalau mau yang lebih canggih lagi contohnya adalah GO-JEK yang memberikan refferal bonus deposit bagi pemakai awal sehingga bisa menguji coba layanannya secara gratis. Harapannya, mereka akan melakukan pembelian/ pembayaran (purchase/ decision) di masa yang akan datang.
Semua pelaku digital marketing hafal dengan funnel ini:
- Awareness (mengetahui)
- Consideration (mempertimbangkan)
- Decision (memutuskan)
- Retention (kembali)
- Advocacy (menyarankan)
Namun ketika value yang kita miliki tidak diinstitusikan dan tak dikemas secara digital agar mampu disampaikan di pintu depan, maka kemungkinan besar kita akan kesulitan membangun tahap awareness dan consideration. Dengan mengemasnya dalam bentuk digital, pendistribusiannya juga akan jauh lebih mudah, luas, terukur, dan mudah dioptimalisasi.
Lebih dari itu, bila value tersebut didemonstrasikan secara luas, maka ia bisa menjalani tahap demi tahap validasi untuk dikembangkan lebih jauh—yang pada akhirnya akan meningkatkan nilai bisnis kita.
Bila demikian, apakah sebenarnya entitas perusahaan digital marketing seperti media planner atau media buyer itu? Perusahaan teknologi atau perusahaan marketing/ advertising?
Saya berpendapat yang kedua, yakni perusahaan teknologi bidang marketing/ advertising. Kecepatan inovasi dalam arena digital marketing tidak bisa membuat kita hanya jadi pengikut (follower) terus-menerus yang hanya mengandalkan reaksi.
Kita mesti turut serta dalam menciptakan kecepatan inovasi itu dan proaktif. Kematian Yahoo! mengajarkan kita soal ini: lebih memosisikan diri sebagai perusahaan media periklanan ketimbang perusahaan teknologi membuat mereka tak berdaya di hadapan Google. Terlebih lagi bagi perusahaan digital agency yang menyediakan layanan lebih holistik, posisi sebagai perusahaan teknologi ini menjadi wajib sejak awal.
Memosisikan diri sebagai perusahaan teknologi bagi perusahaan digital marketingjuga akan membuat bisnis mereka lebih berkelanjutan karena memiliki kemampuan scale pada teknologi dan mengembangkan pendekatan mereka secara kontinyu.
Terlebih lagi, saat ini pun Google Adword tingkat lanjut dan DoubleClick Ad Exchange membutuhkan kemampuan programming. Dengan makin luasnya adopsi machine learning, AI, otomatisasi, dan big data, perusahaan digital marketing mesti terus memperkuat teknologi mereka agar tetap relevan.
Social Lab, startup di bidang digital marketing agency yang saya bangun, mengalami kesulitan scale karena sangat terbatasnya sumber daya manusia di Balikpapan/ Kalimantan Timur untuk mengembangkan teknologi.
Content marketing yang terabaikan
Saya adalah inbound marketing believer. Saya percaya bahwa broadcast marketingatau push marketing makin tidak relevan. Digantikan oleh inbound marketing atau pull marketing. Marketer centric berubah menjadi customer centric. Bukan lagi megaphone, tapi magnet.
Dalam era surplus informasi, yang kita perebutkan adalah perhatian—sesuatu yang tak bisa dibeli. Itu sebabnya kita memerlukan cara menciptakan aktivitas marketingyang orang sukai. Caranya adalah mencipakan konten dan konteks yang tepat.
Salah satu cara terpeting mendemonstrasikan value kita di pintu depan adalah berbagi value itu sendiri kepada orang lain. Ada empat tahap dalam inbound marketing: attract, convert, close, delight.
Content marketing berada di tahap pertama, yakni attract atau menarik perhatian. Di tahap ini kita membangkitkan awareness pada masalah yang sedang dihadapi target konsumen, mengedukasi, brain storming, dan menawarkan gagasan akan pendekatan yang kita pilih. Bujukan tak berada di tahap ini.
Di blog Hubspot kita bisa terus memperbaharui wawasan tentang digital marketinglewat artikel, video, studi kasus, sampai infografis. Bahkan di Hubspot Academy kita bisa secara gratis belajar dan mengambil beberapa sertifikasi digital marketingsecara gratis.
Begitu banyak nilai yang didemonstrasikan dan diberikan oleh Hubspot kepada pelaku digital marketing secara cuma-cuma, adalah cara persuasi untuk membangun awareness akan masalah dan pendekatan dalam menyelesaikannya ala Hubspot.
Dari situlah tahapan kemudian berlanjut ke convert, close, hingga delight. Sampai saat ini Hubspot masih berada di jajaran top penyedia layanan solusi digital marketing di dunia dengan lebih dari 34.000 customer dan 3.400 partner agensi.
Sayangnya, sepengamatan saya, sangat sedikit digital agency atau digital marketing agency di Indonesia yang jagoan atau populer soal kemampuannya di bidangcontent marketing dan inbound marketing.
Menuangkan gagasan ke dalam bentuk konten yang menarik, relevan, dan bernilai memang bukan perkara mudah. Namun pastilah setiap agensi memiliki sumberdayacontent creative dalam line-up mereka sebagai salah satu layanan yang diberikan kepada klien. Tapi bisa dihitung dengan jari para agensi yang memiliki blog dan media sosial yang dikembangkan secara baik dan populer.
Agensi digital masa depan
Pada tulisan berjudul “Merancang Ulang Dunia Iklan Masa Depan“, saya menyampaikan tentang pergeseran information economy ke attention economy. Begitu cepatnya perubahan dalam lansekap teknologi pemasaran dan periklanan serta perubahan tren pada konsumen, membuat definisi akan digital agency terus berubah.
Perhatian makin harus direbut melalui penyampaian secara kontekstual melalui saluran yang terdistribusi makin luas. Saat ini saja, bila kegiatan digital marketingmesti disalurkan melalui semua channel mix, jumlahnya bisa puluhan (mungkin ratusan).
Padahal setiap channel memiliki karakter, konteks, dan konten berbeda. Sebagai contoh, kelak bila augemented reality (AR) sudah populer, digital agency mesti menemukan cara penyampaian pesan yang sesuai konteks, mengukurnya secara relevan, dan menemukan cara mengoptimasinya. Begitu juga kelak bila IoT sudah menjadi umum di rumah tangga.
Di masa depan, periklanan tak lagi menjadi manifestasi utama dari kegiatan kreatif, melainkan penguasaan data dan teknologi. Ketika insight dari konsumen bisa didapatkan secara real-time dan lebih akurat, maka iklan bukan lagi sebuah produk akhir. Iklan hanya salah satu bagian dari kegiatan kreatif yang akan dioptimalisasi terus-menerus berdasarkan insight, yang bertumpu pada keandalan data dan teknologi yang digunakan.
Dengan demikian digital agency masa depan bukan hanya mereka yang menguasai data dan teknologi, tapi juga mampu bekerja bersisian dengan klien di sisi hulu. Sehingga, digital agency dan klien mesti sama-sama lebih terbuka soal proses kreatif mereka.
Digital agency masa depan juga mesti memiliki kapabilitas dalam user experience, customer experience, front end, dan customer journey. Brand akan lebih membutuhkan konsumen dibandingkan konsumen membutuhkan brand. Buyer power akan terus meningkat seiring dengan berlanjutnya kompleksitas teknologi. Hal ini menyebabkan digital agency mesti dapat mengantarkan benefit yang nyata secarareal-time kepada konsumen.
Ada pula yang memprediksi digital agency masa depan lebih bertindak sebagai enabler, seperti Uber dalam dunia transportasi. Platform distribusi yang jumlahnya makin menggila membuat isi pasar makin riuh dan kompleks, sekaligus perkembangan teknologinya makin variatif. Situasi ini akan melahirkan keuntungan strategis bagi digital agency dengan cara tetap memiliki hubungan langsung dengan klien, mengandalkan strategi, pendekatan dan data, namun dieksekusi oleh pihak lain yakni platform distribusi.
Pada akhirnya, saya masih berpegang pada sebuah prinsip kewirausahaan di era ini yang tak terkecuali wajib bagi digital agency atau digital marketing agency: kewajiban menciptakan dampak, menyelesaikan masalah penting, dan membuat orang lain hidup lebih baik.
Kita membangun perusahaan bukan untuk menghasilkan uang. Namun kita menghasilkan uang agar bisa melayani lebih baik dan memberi dampak lebih besar lagi. [tia/ap]