Entah mengapa bermain game masih identik dengan kegiatan yang dilakukan kaum Adam. Namun, bagi seorang gamer perempuan seperti saya, bermain game sama pentingnya dengan berkumpul bersama teman di sela-sela kesibukan. Bermain game adalah kegiatan yang membuat saya tetap ‘waras’ di tengah gilanya tugas dan drama perempuan.
Sedari kecil, saya sudah merasakan perbedaan perempuan dan laki-laki dalam urusangaming. Dulu sambil menunggu ibu selesai mengajar di kampusnya, saya seru sendiri di depan komputer sambil bermain Chip’s Challenge atau SkiFree. Saya ingat betapa seringnya rekan kerja ibu bertanya keheranan mengapa anak perempuan suka main game.
Di rumah, ketika kakak dan sepupu laki-laki saya bermain SNES atau Nintendo, saya cuma bisa ikut menonton. Hingga PlayStation, console pertama dan satu-satunya yang menjadi hadiah dari orang tua saya, ada di rumah. Saya baru ikut bermain Metal Slug, Time Crisis, Virtua Cop 2, Metal Gear Solid, dan lainnya.
Game online dan anak perempuan
Setelah masa PlayStation, saya menemukan keseruan bermain Ragnarok Online. Saat itu, saya bersama sepupu laki-laki yang sama-sama masih SD sering pergi ke warung internet (warnet), rajin mengambil paket enam jam dan rela menghabiskan entah berapa rupiah untuk membeli voucer Ragnarok Online.
Walaupun lama-lama mulai merasakan keanehan karena di beberapa warnet yang saya kunjungi tidak ada perempuan lainnya, saya tetap bermain Ragnarok Online hingga awal SMP. Gaming online pun berhenti total semenjak melihat ibu sedih karena saya, anak gadis bungsunya, selalu pulang sore karena terus bermain game di warnet.
Di sisi lain, ada rasa tidak diperlakukan adil karena sepupu laki-laki saya tidak dimarahi sama sekali. Mungkin saya masih terlalu kecil atau orang tua saya masih berpikiran konvensional. Namun, sejak saat itu, saya jadi selalu bertanya-tanya: “Apa anak laki-laki tidak dicap negatif dan lebih leluasa bermain game? Atau semua orang tua punya stigma buruk tentang gaming dan anak perempuan?”
Di tengah para lelaki
Seiring bertambah usia, kegiatan gaming mulai saya lakukan di rumah saja, itu pun secara diam-diam. Saya jarang sekali menemukan perempuan yang suka bermain game juga. Seperti yang dikatakan Nixia dari NXA Ladies, masih banyak gamer perempuan yang malu dan tidak berani menunjukkan kemampuan gamingmereka di luar karena mungkin pernah diledek oleh gamer lelaki.
Setelah masuk dunia perkuliahan, saya mulai membuka diri tentang hobi gaming ini. Ternyata menjadi gamer perempuan tidak seaneh yang saya takutkan. Bahkan, ada keuntungan tersendiri karena jumlah teman laki-laki saya bertambah sejak mereka tahu saya suka game juga.
Saya seringkali berada di tengah para lelaki. Kehadiran saya membuat heboh seisi rumah kontrakan teman-teman lelaki ketika ikut nimbrung main game. Entah saat itu mereka sedang bermain FIFA, Pro Evolution Soccer, Street Fighter, atau game lainnya. Mereka selalu membagi controller dan tidak pernah mengejek cara bermain saya.
Sedangkan, untuk bermain bersama teman-teman perempuan, saya lebih memilih permainan kooperatif yang kocak dan tidak ribet. Misalnya Rayman Legends, LEGO Marvel Superheroes, atau Keep Talking and Nobody Explodes. Tiga permainan ini bisa menguji pertemanan dan vokal para perempuan. Ya, uji vokal, karena tawa, teriakan, dan sumpah serapah kami ternyata lebih heboh dari para lelaki.
Ketika gaming didukung
Ketika mulai bekerja sebagai penulis game untuk Tech in Asia Indonesia, orang tua saya bingung dan hingga kini masih suka melontarkan dua pertanyaan: “Memang bisa modal suka bermain game dan menulis jadi sebuah pekerjaan?” dan “Teman kantormu laki semua dong?”
Itulah pekerjaan saya dan dengan membuktikan bahwa kegiatan gaming tidak selamanya negatif, saya berhasil membuat orang tua dan keluarga mulai mendukung kegiatan gaming ini. Bahkan orang tua saya ikut menonton saya dan cucunya bermain game untuk bahan tulisan game yang cocok dimainkan bersama anak-anak.
Sudah tak terhitung berapa jumlah perempuan yang merasa sedih karena merasa dinomorduakan dengan Dota 2atau game lainnya
Di sisi kehidupan sosial, menghilang beberapa hari untuk bermain game bukanlah hal yang biasa dilakukan di lingkungan perempuan. Untungnya, teman-teman saya pengertian dan punya jawaban candaan yang berbeda tiap kali orang lain bertanya kemana saya menghilang.
“Lagi jadi sipir,” muncul ketika saya mengatur para napi di Prison Architect, “Lagi jadi walikota,” ketika sedang mengatur kota di Cities Skyline, “Lagi antar barang ke Belanda,”saat lupa waktu main Euro Truck Simulator 2, hingga “Lagi jadi penjahat,” ketika saya ketahuan iseng menembaki orang di GTA V.
Sebagai gamer perempuan, saya juga sering jadi sasaran utama curahan hati teman-teman yang punya pacar seorang gamer. Sudah tak terhitung berapa jumlah perempuan yang merasa sedih karena merasa dinomorduakan dengan Dota 2 atau game lainnya. Di sini, saya harus menjadi ‘penjinak’ kesedihan mereka dengan menceritakan kehidupan seorang gamer.
Intinya, saya berpesan untuk para gamer perempuan di luar sana. Janganlah malu untuk terus bermain game dan menunjukkan pada lingkungan sekitar apa yang kamu suka. Apapun itu pilihan game kamu, mulai dari seri The Sims, Dota 2, atau Metal Gear Solid. Karena siapa tahu masa depanmu, termasuk pekerjaan ada di dunia gaming, kan?
techinasia